Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2011

Just write

Aku sedikit tercengan dengan tulisan hok gie... tapi aku g' ngerti apa kah aku benar-benar mengerti apa isi tulisannya.??? ada sebuah pertanyaan besar saat aku membaca tentang kisa hidupnya. fikirku buat apa kita tau kebobrokan politik Indonesia kalo kita tidak dapat berbuat apa-apa?. dari jaman merdeka hingga sekarang, politik itu sama saja. seandainya kita berada dalam posisis seorang yang dibicarakan hok gie, apakah kita akan bertindak seperti hok gie. seorang yang dibicarakan hok gie pasti pilih aman. itu manusiawi bagiku.ada 2 pilihan 1.Melawan atasan dan terancam mati. ato 2.Pilih aman dan dapat bagian hasil korupsi. lebih dari 80% pasti akan milih yang kedua. mungkin kita berfikir ini jahat tapi, ini memang kenyataan. kita dapat berkata korupsi kurang ajar karna kita tidak berada dalam posisi sang koruptor. tapi bagai manapun aku disini tetap g' mbenari yang namanya korupsi. seandainya tidak ada kesempatan pasti g' ada yang namanya peluang korupsi. dan satu lag

Puisi : Sebuah tanya

SEBUAH TANYA Akhirnya semua akan tiba Pada suatu hari yang biasa Pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui Apakah kau masih berbicara selembut dahulu Memintaku minum susu dan tidur yang lelap? Sambil membenarkan letak leher kemejaku Kabut tipis pun turun pelan-pelan Di lembah kasih, lembah mendalami Kau dan aku tegak berdiri Melihat hutan-hutan yang menjadi suram Meresapi belain angin yang menjadi dingin Apakah kau masih membelaiku semesra dahulu Ketika kudekap kau Dekaplah lebih mesra, lebih dekat Lampu-lampu berkelip di Jakarta yang sepi Kota kita berdua, yang tua dan terlena dalam mimpinya Kau dan aku berbicara Tampa kata , tampa suara Ketika malam yang basah menyelimuti Jakarta kita Apakah kau masih akan berkata Kudengar jantungmu Kita begitu berbeda dalam semua Kecuali dalam cinta Haripun menjadi malam Kulihat semuanya menjadi muram Waja-wajah yang tidak kenal berbicara Dalam bahasa yang kita tidak mengerti

Puisi : Mandalangi pangrango

MANDALANGI PANGRANGO Senja ini, ketika matahari turun Kedalam jurang-jurangmu Aku datang kembali Ke dalam ribaanmu, dalamsepimu Dan dalam dinginmu Walaupun setiap orang berbicara Manfaat dan guna Aku berbicara padamu tentang cinta dan keindahan Dan aku terima kau dalam keberadaanmu Seperti kau terima daku Aku cinta padamu, Pangrango yang dingin dan sepi Sungaimu adalah janji keabadian tentang tiada Hutanmu adalah misteri segala Cintamu dan cintaku adalah kebiasuan semesta Malam itu ketika dinggin dan kebisuan Menyelimuti Mandalangi Kau datang kembali Dan bicara padaku tentang kehampaan semua “hidup adalah soal keberania Menghadapi yang tanda Tanya Tanpa kita bisa mengerti , tampa kita bisa menawar Terimalah,dan hadapilah” Dan antara ransel-ransel kosong Ada api unggun yang membara Aku terima itu semua Melampaui batas-batas hutanmu Melampaui batas-batas jurangmu Aku cinta padamu Pangrango Karena aku cinta pada keb

Puisi : Hari ini

HARI INI Hari ini aku lihat kembali Wajah-wajah halus yang keras Yang berbicara tentang kemerdekaan Dan Demokrasi Dan bercita-cita Menggulingkan tiran Aku mengenali mereka Yang tampa tentara Mau berperang melawan dictator Dan yang tampa uang Mau memberantas korupsi Kawan-kawan Kuberikan padamu cintaku Dan maukah kau berjabat tangan Selalu dalam hidup ini?

Cerpen : Takbir Bersenandung Cinta

Kala Takbir Bersenandung Cinta 10 Januari 2011 313 views No Comment 26 Desember 2004 adalah tanggal terjadinya sebuah peristiwa yang tak dapat sirna dalam hati seluruh warga Kota Banda Aceh. TSUNAMI. Peristiwa itu telah tergores di hati mereka. Dan untuk menghilangkan goresan itu, tidak dapat hanya dengan menggangap sebagai angin yang telah berlalu. Dari sekian banyaknya manusia yang jatuh sebagai korban. Hanya beberapa yang selamat dari bencana itu. Salah satunya adalah Akbar dan Aisha sepasang Kakak beradik yang selamat dari bencana air bah yang dahsyat itu. Saat itu Akbar sedang menjalani studinya di Univeritas Unsyiah Banda Aceh jurusan Akutansi. Sedangkan Aisha Sang Adik adalah pelajar kelas satu SMP. Ketika bencana itu terjadi, mereka terpisah dari kedua Orang tuanya demi menyelamatkan diri. Pada mulanya Aisha merasa ada suatu hal yang janggal pada hari itu. Aisha Sang Adik terlihat terus menerus gelisah. Akbar, Kakak kandung Aisha me

Cerpen : Dibawa tiang bendera

Suatu Sore, di Bawah Tiang Bendera Keringat mengalir deras di tubuhnya yang hitam. Butiran-butiran putih tersebut menggelinding seperti air hujan yang terhempas pada batu hitam mengkilat. Terik matahari tidak di pedulikannya, hatinya yang hangus lebih tersiksa dari jasadnya yang kini bermandikan panas matahari. Seandainya ia perempuan, pasti ia juga akan menangis, tapi ia laki-laki. Laki-laki yang sudah biasa terhempas, disudutkan keadaan, di tikam kenyataan yang pahit. Perjuangannya tiga tahun ini berujung pada kekecewaan yang sangat menggoncangkan jiwanya. Dua buah kata berbunyi “Tidak Lulus” yang tertulis di kertas pengumuman kemaren menghanyutkan puing-puing harapannya selama ini. Dua kata tersebut menari-nari dengan lincah di kepalanya, selincah tangannya mengayunkan cangkul di lahan miring tempat ia menanam tanaman muda sejak tiga tahun yang lalu. Ia dilahirkan di sebuah perkampungan kecil Si Mandi Angin, 67 km dari desa Tambusai, kecam