Suatu Sore, di Bawah Tiang Bendera
Keringat
mengalir deras di tubuhnya yang hitam. Butiran-butiran putih tersebut
menggelinding seperti air hujan yang terhempas pada batu hitam mengkilat. Terik
matahari tidak di pedulikannya, hatinya yang hangus lebih tersiksa dari
jasadnya yang kini bermandikan panas matahari. Seandainya ia perempuan, pasti
ia juga akan menangis, tapi ia laki-laki. Laki-laki yang sudah biasa terhempas,
disudutkan keadaan, di tikam kenyataan yang pahit. Perjuangannya tiga tahun ini
berujung pada kekecewaan yang sangat menggoncangkan jiwanya. Dua buah kata
berbunyi “Tidak Lulus” yang tertulis di kertas pengumuman kemaren menghanyutkan
puing-puing harapannya selama ini.
Dua kata
tersebut menari-nari dengan lincah di kepalanya, selincah tangannya mengayunkan
cangkul di lahan miring tempat ia menanam tanaman muda sejak tiga tahun yang
lalu. Ia dilahirkan di sebuah perkampungan kecil Si Mandi Angin, 67 km dari
desa Tambusai, kecamatan Tambusai, kabupaten Rohul, Riau, tempat ia bersekolah.
Secara ekonomi, orang tuanya yang bekerja sebagai buruh harian tidak mampu
untuk membiayai sekolahnya, tambah lagi kedua orang tuanya menganggap
pendidikan hanyalah formalitas untuk orang-orang berada saja.
“Sekolah pun
ujung-ujungnya bakal jadi kuli juga toh…,” nasehat yang mumpuni dari emaknya
ketika ia mengemasi beberapa helai pakaian dan ijazahnya ke dalam kardus mie,
di suatu pagi ketika ia akan berangkat ke Tambusai melanjutkan pendidikannya.
Dalam hati ia yakin dengan pendidikan ia bisa merobah nasibnya dan Tuhan pasti
mendengar doa pengembara yang sedang menuntut ilmu. Maka berangkatlah ia pagi
itu dengan tatapan lusuh bapaknya yang karatan jadi kuli perkebunan toke-toke
bermata sipit dari Pekanbaru.
Nasib baik
menemani langkahnya. Tidak hanya diterima ia di sekolah tersebut, kepala
sekolah juga memberinya pekerjaan sebagai penjaga sekolah. Ia adalah angkatan
pertama dari SMA N 4 Tambusai tersebut. Pulang sekolah, dengan rajin ia
membersihkan pekarangan sekolah dan pagi-pagi sebelum belajar dimulai ia
menyapu lantai kelas dan kantor guru. Lahan kosong di belakang kelas yang
dulunya ditumbuhi gulma disulapnya menjadi lahan produktif. Ia menanam ubi
kayu, cabe rawit dan jagung bergantian. Hasilnya ia bagi dua dengan pihak sekolah.
Lumayan juga penghasilannya, tiap bulan ia juga menerima honor sebagai penjaga
sekolah.
Otaknya memang
pas-pasan, kalau tidak boleh dibilang bodoh. Tapi semangatnya dalam
mengikuti pelajaran sangat tinggi. Guru-guru yang belum seberapa, maklum sekolah
baru, sangat menyayanginya. Rasa sayang sebatas manusia yang memiliki hati
nurani, sebab untuk lebih dari itu, di luar kemampuan mereka juga. Mereka tidak
bisa memberikan materi pelajaran sebagaimana yang dianjurkan pemerintah. Alat
penunjang belajar sangat kurang, boleh dikatakan tidak ada. Sebab yang tersedia
hanya ruangan kelas dan stempel dari diknas bahwa sekolah ini sudah boleh
beroperasi. Buku-buku pelajaran, jauh panggang dari api.
Pernah juga
suatu kali sorang wanita paruh baya berseragam pemda datang ke sekolah. Mereka
menjanjikan buku yang dialokasikan dari dana BOS, tapi sampai saat ini buku
tersebut tak kunjung datang barangkali sudah di pangkas ‘BOS-BOS’ yang jadi
mafia di dunia pendidikan.
Suatu hari,
datang juga seorang sales dari toko buku di Pekanbaru ke sekolah mereka untuk
menawarkan buku-buku pelajaran yang beragam seperti yang dimiliki anak-anak
sekolah di kota. Dugaan si sales tidak meleset, tak satu pun bukunya yang laku.
Saprianto dan beberapa kawannya yang rata-rata anak buruh kasar perkebunan
sawit hanya bisa menelan liur untuk memiliki buku tersebut.
Dengan segala
keterbatasan akhirnya sampai juga ia di ujung perjuangan. Ujian Nasional (UN)
diselenggarakan untuk pertama kalinya di sekolah tersebut. Kepsek dan majelis
guru menyadari betul persiapan sekolah mereka untuk menghadapi UN. Guru-guru
yang jauh dari standar kompetensi dan murid-murid yang tidak jenius karena dari
kecil memang selalu kurang gizi. Sempat juga terlintas di benak mereka untuk
mengambil jalan pintas. Membeli lembar soal, tapi rasanya juga tak mungkin.
Dari mana mereka dapat uang pengisi ‘amplop’ untuk bekerjasama dengan
instansi terkait.
***
Menjelang
tengah hari, Saprianto masih melayangkan cangkulnya. Tak peduli sudah berapa
ember keringat yang mengucur dari tubuhnya. Ia terhenti ketika ujung cangkulnya
membentur sesuatu. “Nah ini dia,” bisiknya dalam hati, ketika ia yakin
menemukan carocok pondasi utama dari ruang guru yang dipisahkan oleh gang
sempit dari ruang kelas.
Saprianto
berjalan tergesa-gesa menuju bengkel las ketok bang Regar. Bengkel tersebut
terletak di pinggir jalan raya tak jauh dari gapura perbatasan Riau dengan
Sumut.
“Ene opo,
Sap..” sambut bang Regar berbahasa Jawa ketika Saprianto sampai di depan
bengkel, maksudnya menyambut tamu beramah-tamah dengan memakai bahasa ibu si
tamu tapi kedengaran lucu karena logat bataknya tak bisa lepas dari lidahnya.
“Rental pompa
airnya lagi, bang!”
“Berapa jam?”
“Berapa jam?”
“Hitung-hitungan
kali la abang ini, besok pagi kuantar lagi, sekarang sudah tengah hari.
Hitungannya setengah hari jugalah bang…”
“Oke…” jawab
bang Regar sambil berjalan ke belakang mengambil mesin pompa air merek robin.
Sap sudah sering merental mesin di situ untuk tanaman-tanamannya.
Sap membawa
mesin dengan gerobak sorong. Sampai di bekas galiannya tadi ia mengambil
linggis. Sebenarnya ia sudah letih tapi ia paksa juga menghantamkan linggis ko
podasi yang ia gali tadi. Setelah pondasi utama hancur ia mengalirkan air dari
sungai kecil di belakang sekolah yang kira-kira 10 meter di bawah sana. Mesin pompa
berkekuatan 25 pk ini menaikan air dengan enteng. Sap mengalirkan ke
saluran-saluran yang dibuatnya.
Ia duduk
termenung seorang diri di bawah sebuah pokok sawit. Dua hari sekolah sepi.
Kepsek dan para guru tidak berani datang ke sekolah. 36 siswa sekolah tersebut,
tidak seorang pun yang lulus. Mereka takut kalau-kalau murid-murid mengamuk.
Tambah lagi beberapa kuli tinta sudah datang ke sekolah mereka, wartawan
tersebut dengan senang hati akan mengekspos kegagalan mereka.
Tidak lama
berselang ia trsenyum bangga. Bagian belakang bangunan sekolah mulai condong ke
arah sungai, ia membiarkan mesin terus memompakan air berkekuatan tinggi ke
pondasi sekolah yang sudah di obrak abriknya.
Atmosfir kecamatan Tambusai dinaungi mendung, tak lama kemudian hujan turun dengan lebat disertai petir sambar menyambar. Ia tersenyum makin lebar, gemuruh bangunan runtuh trdengar. Perlahan bangunan sekolahnya runtuh ke arah sungai.
Atmosfir kecamatan Tambusai dinaungi mendung, tak lama kemudian hujan turun dengan lebat disertai petir sambar menyambar. Ia tersenyum makin lebar, gemuruh bangunan runtuh trdengar. Perlahan bangunan sekolahnya runtuh ke arah sungai.
Ia berlari-lari
kegirangan di halaman sekolah, kemudian bersandar di tiang bendera, yang benderanya
ia biarkan juga basah ku-yup seperti hatinya dan teman-teman sekelasnya, yang
setiap senin melakukan upacara bendera dengan khidmat.
“Wartawan pasti
akan segera berdatangan dan mewawancaraiku,” pikirnya dalam ha-ti. “Ini adalah
moment yang tepat. Saat diwawancarai nanti aku akan akan berkirim sa-lam kepada
menteri Pendidikan Nasional. Pak menteri pasti akan senang dapat salam dariku
di hari Pendidikan Nasional yang akan diperingati beberapa hari lagi.”
Senyumnya makin manis demi teringat jawaban-jawaban yang akan di berikannya
kepada wartawan.
Ia
membayangkan, ketika nanti ia melihat dirinya di tv, maka semua pejabat
pemerintah, dan semua orang di seluruh Indonesia, bahkan dunia, akan tertawa
keras sejadi-jadinya.***
Oleh: Elrinov
Tri Putra
Komentar
Posting Komentar