Kala
Takbir Bersenandung Cinta
10 Januari 2011 313
views No Comment
26 Desember 2004 adalah
tanggal terjadinya sebuah peristiwa yang tak dapat sirna dalam hati seluruh
warga Kota Banda Aceh. TSUNAMI. Peristiwa itu telah tergores di hati mereka.
Dan untuk menghilangkan goresan itu, tidak dapat hanya dengan menggangap
sebagai angin yang telah berlalu. Dari sekian banyaknya manusia yang jatuh
sebagai korban. Hanya beberapa yang selamat dari bencana itu. Salah satunya
adalah Akbar dan Aisha sepasang Kakak beradik yang selamat dari bencana air bah
yang dahsyat itu. Saat itu Akbar sedang menjalani studinya di Univeritas
Unsyiah Banda Aceh jurusan Akutansi. Sedangkan Aisha Sang Adik adalah pelajar
kelas satu SMP. Ketika bencana itu terjadi, mereka terpisah dari kedua Orang
tuanya demi menyelamatkan diri.
Pada mulanya Aisha
merasa ada suatu hal yang janggal pada hari itu. Aisha Sang Adik terlihat terus
menerus gelisah. Akbar, Kakak kandung Aisha merasa heran melihat sikap Adiknya.
Tak biasanya ia melihat Sang Adik diam terus menerus dan bisu seribu bahasa.
Ternyata, tanpa ia sadari sikap Adiknya yang ia sayangi itu merupakan sebuah
tanda akan terjadi sebuah Bencana besar di hari itu. Sebuah Gelombang Laut yang
tinggi masuk ke Kota dan memporak-porandakan seisi Kota. Mengetahui itu Akbar
dan Aisha segera berlari menyelamatkan diri. Karena waktu hanya sedikit. Dengan
berat hati dan linangan air mata. Akbar dan Aisha berlari menyelamatkan diri,
tanpa memberitahu kedua Orang Tua yang sangat ia sayangi.
Akbar terus berlari sekencang-kencangnya.
Segala sesuatu yang ada di depannya tampak ia acuhkan saja. Orang-orang yang
sedang berlari dan berjalan di depannya ia tabrak saja. Kedua kakinya sangat
lincah berlari. Tangan kanannya terus menggengam tangan seorang remaja putri berjilbab
hitam dan mengenakan baju panjang merah yang tak lain adalah Aisha. Aisha yang
sedang ia pegang tangan kanannya tampak kesulitan berlari. Sering kali Aisha
menghela nafas panjang.
Sesekali Akbar
mengedarkan pandangannya ke segala arah. Ia terus melihat pemandangan yang
menyedihkan. Pemandangan menyedihkan itu terus terjadi silih berganti. Puluhan
kendaraan saling bertabrakan satu sama lain. Kecelakaan itu merupakan
kecelakaan beruntun. Mereka berdua terus berlari sangat kencang. Seluruh tenaga
mereka kerahkan. Sering kali mereka menghela nafas yang dalam berulang-ulang.
Peluh keringat bercucuran tetes demi tetes.
“ Aisha. Kamu harus bisa
tetap berlari. Gelombang sudah semakin dekat. Kamu harus bisa Aisha. “ Ia
mensupport Aisha yang ia genggam tangannya sambil menunjuk gelombang laut
tinggi yang siap mengejar mereka berdua.
“ Tapi Kak, aku tidak
kuat lagi. “
“ Aisha, kamu harus kuat! “
“ Tapi Kak, aku lelah “ Ia sedikit mengiba.
“ Aisha, kamu harus kuat! “
“ Tapi Kak, aku lelah “ Ia sedikit mengiba.
“ Kak Akbar aku tak
tahan berlari lagi. Biarkan tinggalkan aku saja di sini. Kakak berlari saja. “
Aisha perempuan yang ia genggam tangannya mengeluh.
“ Aisha aku akan berdosa
apabila tidak dapat menyelamatkan diriku. Dan engkau akan berdosa andaikan
engkau tidak menyelamatkan nyawamu. Kamu hanya menjadi sampah seperti orang
yang membunuh dirinya sendiri. “
Aisha menundukkan
kepalanya. Hatinya tergerak. Ia segera bangkit dan kembali berlari
menyelamatkan diri. Aisha tampak letih setelah berlari jauh. Jilbab panjangnya
berkelebat diterpa angin kencang. Kakinya yang dibalut dengan kaus kaki putih
polos sudah tampak pincang. Dan kaus kakinya telah kotor bebercak coklat.
Selama berlari mereka
berdua terus bertasbih dan bertakbir. Kalimat agung dan suci terus terlontar
dari bibir mereka. Mereka berdua sangat panik. Rasa takut dan cemas bergejolak
di dalam diri mereka. Tiba-tiba sebuah Truk besar berwarna kuning hendak
melintas di depan mereka. Akbar segera melepas genggaman Aisha dan segera
menghentikan mobil Truk Kuning itu. Truk itu seketika berhenti. Akbar segera
menuju bangku supir.
“ Pak bisakah kami
menumpang mobil Bapak? “
Seorang lelaki besar berkulit hitam dibangku supir terdiam.
“ Pak saya mohon “ Akbar mengiba.
“ Dik, Truk kami tidak memiliki banyak bangku “
“ Apakah di bak belakang tidak bisa? Saya mohon Pak “
“ Baiklah tapi hanya satu orang saja yang boleh ikut karena di bak belakang sudah penuh dengan barang “
“ Baiklah “
Akbar segera menyuruh Aisha naik.
“ Kak aku tidak mau “
“ Kenapa? “
Seorang lelaki besar berkulit hitam dibangku supir terdiam.
“ Pak saya mohon “ Akbar mengiba.
“ Dik, Truk kami tidak memiliki banyak bangku “
“ Apakah di bak belakang tidak bisa? Saya mohon Pak “
“ Baiklah tapi hanya satu orang saja yang boleh ikut karena di bak belakang sudah penuh dengan barang “
“ Baiklah “
Akbar segera menyuruh Aisha naik.
“ Kak aku tidak mau “
“ Kenapa? “
“ Aku hanya mau dengan
kakak “ “ Aisha kakak mohon. Naiklah. Jika kita berdua
selamat, Insya Allah kita akan dapat bertemu kembali. Dan apabila tidak.
Percayalah. Insya Allah Kita akan digolongkan sebagai Syuhada, berperang demi
menyelamatkan nyawa sendiri “
Aisha menitikkan air
matanya. Ia mematung di dalam bak Truk yang besar itu. Tanpa aba-aba dan sebuah
isyarat Truk itu perlahan bergerak dan semakin lama semakin kencang. Aisha
melambaikan tangan kanannya kepada Sang Kakak tercinta. Air mata tak dapat ia
bendung. Air mata itu tumpah membanjiri kedua pipinya yang halus dan putih.
Setelah memastikan Truk itu berjalan cukup jauh. Akbar kembali berlari
menyelamatkan dirinya.
****
Hari telah sore. Langit
telah melepas jubah birunya. Dan memulai merajut warna jingga. Matahari mulai
me-rangkak ke ufuk Barat. Waktu akan berganti. Pemandangan menyedihkan terlihat
di seluruh Kota. Rasa sedih masih menyelimuti seluruh warganya. Tumpahan air
mata terjadi di mana-mana. Masjid besar Baiturrahman yang berada di Pusat Kota
Banda Aceh itu tampak dikerumuni ribuan manusia. Waktu Ashar tiba. Adzan
berkumandang dari seluruh penjuru masjid. Mendengar suara Adzan itu, ia kembali
tak kuasa membendung air matanya. Aliran air mata membekas di pipinya. Ia tidak
tahu akan keberadaan sang Kakak tercinta. Yang telah berhasil menyelamatkan
nyawanya.
Tanpa Aisha sadari. Sang
Kakak tercinta selamat dari bahaya Tsunami yang sangat ganas itu. Dan sekarang
Kakak tercintanya itu berada di tempat yang sama dengan Aisha. Akbar yang telah
lama di Masjid itu segera menuju ke ruang wudhu. Ia segera mensucikan dirinya,
untuk bersembah diri kepada sang Pencipta. Ia berjalan menembus ribuan orang
yang memadati jalan menuju ruang wudhu. Dan subhanallah. Dalam rentak
langkahnya untuk mensucikan diri. Ia melihat sosok Sang Adik di hadapannya. Dan
spontan saja.
“ Aisha. Engkaukah itu?
“ sebuah kalimat singkat dan padat terlontar dari bibirnya.
Sang Adik yang berdiri di hadapan Kakaknya itu hanya menganggukkan sedikit kepalanya yang berada di dalam balutan jilbab hitam panjangnya. Semula ia hanya diam. Dan perlahan dari bibirnya, sebuah senyum kecil lahir dengan jelas. Ia segera berlari menuju tempat sang Kakak berdiri. Dengan erat ia memeluk Kakaknya.
Sang Adik yang berdiri di hadapan Kakaknya itu hanya menganggukkan sedikit kepalanya yang berada di dalam balutan jilbab hitam panjangnya. Semula ia hanya diam. Dan perlahan dari bibirnya, sebuah senyum kecil lahir dengan jelas. Ia segera berlari menuju tempat sang Kakak berdiri. Dengan erat ia memeluk Kakaknya.
Setelah berjuang dengan
keras menyelamatkan diri, berperang dengan waktu. Akhirnya mereka berdua dapat
kembali bertemu dan bersama kembali. Suara Adzan yang berkumandang dari seluruh
penjuru Masjid akhirnya mempertemukan mereka berdua. Sebuah Alunan Takbir Cinta
dengan halusnya mempertemukan Seorang Kakak dengan Adik tercintanya yang semula
terpisah.
Oleh: M. Taufik.
Hidayatullah
Komentar
Posting Komentar