PANTAI PRIGI PAGI ITU ......
Debur pantai masi saja menghantam
karang-karang. Menembus kabut penyelimut pagi. Menebar hujan diatara
pantai-pantai pengusir sepi. Mendalam menjauhi asa dan mengingat semua
kesalahan. Entah itu semua kah yang dimaksud dengan takdir. Atau hanya
kebusukan manusia yanga disimpan dalam sebuah kata kesabaran.
Dia masi saja
duduk diatas pasir dan sesekali dia berdiri. Matanya tak lepas dari laut Prigi
ini. tapi entah kemana asanya berlari. Menyibak diantara kabut-kabut pembawa
hujan laut. Menyalahkan semua yang menimpa hidupnya.
Bukan meyesal
diatara seluruh benaknya. Tapi mengapa bodoh dirinya. Matanya berkaca-kaca
namun dia tak menangis. Mungkin dia sudah lelah untuk menagis. Tak ubahnya
seorang anak kecil dia memainkan pasir ditangannya. Dia terseyum, bukan sebuah
senyum kebahagiaan. Mungkin lebih tepatnya senyum menertawakan hidupnya. Bukan
dia kelainan mental atau pun psikopat. Namun, mungkin dia lelah akan semua yang
menimpanya.
^^^
Hari itu seperti
petir menyambar kepalanya. Entah kenapa dia tiba-tiba terduduk dan tak dapat
berkata satu apa pun. Matanya hanya melihat seorang yang terbaring didipan yang
sudah tak bernyawa.
Dia hanya
beteriak agar orang itu membuka matanya lagi. Dia goncang-goncangkan tubuh itu.
Namun, tubuh itu sudah dingin dan tak mungkin utuk melawan. Dia memeluk tubuh tak
bernyawa. rasanya dingin sampai menebus detak jantungnya. Dia tak berteriak,
dia mencoba tak menangis. Matanya tertutup rapat. Namun air mata masi saja keluar diantara sela-sela
tutupan mata itu.
Dia mengusap air
matanya cepat. Seolah dia tak merasa kehilang siapa pun, waupun jantungnya berdetak
keras tak berirama . Dia harus merelakan ibunya, itu yang dia katakan. Mungkin
itu lebih baik dari pada ibunya menderita lebih lama karna penyakit yang tak
jelas asalnya.
Semua terjual,
memua tergadai dan semua terasa berubah 180’ dari kehidupan semula. Ayahnya
punya berpenyakit jantung. Bukan ulah tak patuh akan kesehatan. Namun, karna
tak patuh menata kesabaran hati.
Semua selesai,
zenasa ibunya telah dikuburkan. Tertutup tanah dan tinggal menunggu malaikat.
Sedangkan dia, sebentar lagi akan menunggu penagih hutang. Ayahnya tak mampu
bangun untuk menghadapi rentenir itu. Mungkin dia hanya akan berkata
“Hari ini kami terkena
musibah, datanglah esok hari”
Ya... mungkin saja itu yang dia katakan.
Sebentar lagi
buka petir yang menyambar kepalanya. Namun, bumi akan runtuh dan menindih tubuh
dan benaknya. Berjalan menuju kamar ayah yang remang dengan gelap yang membisu.
Tubuh itu tertidur seakan semua menghilang. Dia duduk disamping dipan ayahnya.
Dia menutup kedua mukanya dan dia menangis sejadinya. Dalam hati tak tertinggal
Tuhan disebut sebagai penyebab semua ini.
Dimanakah Tuhan
berada saat hambanya terlindas musibah akan takdirNYA. Dimana Tuhan berada
dalam benak insannya saat semua mati dan tak tersisa. Dan dimana Tuhan saat
semua berlari dan tak kembali padanya.
Dia mengingat
kata kakeknya yang telah mati ditangan orang yang menganggap dirinya bertuhan.
Mungkin benar kakenya ingin memperjuangkan sebuah faham tak bertuhan. Mungkin
saja kakekya juga tak pernah menganggap tuhan itu ada.
Tangannya basah
oleh air mata, dia berharap ayahnya masi sanggup hidup seperti ini. atau
mungkin mereka lebih rela mati dari pada hidup tak bertuhan dan tak berarah .
Dia pegang tubuh ayahnya, dingin yang sama seperti pagi tadi saat dia memeluk
ibunya.
Seperti
jantungnya berhenti berdetak dan semua seakan dingin. Gelap seperti remang
kamar ayahnya.
^^^
Indah pantai
Prigi itu masi saja tersamar oleh kabut pagi pembawa hujan. Matanya teralih
pada seorang yang berada dibelakangnya. Jalannya terseok-seok karna penyakit polio yang menimpa kaki kanannya. Tubuhnya buntal dan sedik terkena penyakit
cacat mental.
Entah kanapa
lelaki tampan yang menghilangkan Tuhan dari benaknya itu begitu menyanyangi
lelaki tua tebelakang mental seperti dia. Mungkin karna begitu baiknya dia
menjadi pendengar cerita atau mungkin karna dia tak dapat berbicara sehingga
dia menjadi seorang pendengar yang baik.
Mereka duduk
berdua memandang indah pantai Prigi. Debur ombak memecah karang, kabut pembawa
hujan nan tenang. Lelaki tampan dengan keterpuruka jiwa, bersandar pada lelaki
tua bahagia. Seandainya dia dapat memilih dia akan lebih memilih menjadi lelaki
tua itu. begitu bahagia hidupnya tak pernah memikirkan apa yang menimpanya. Dia
akan selalu tersenyum karna cacat mentalnya.
Dia berdiri, dan
berjalan menuju kepantai. Kakinya menembus ombak yang bergulung mendatanginya.
Semakin lama semakin tinggi, melewati dada dan meninggalkan kepalanya. Semakin
lama dan semakin hilang. Dia tertelan ombak pantai Prigi itu. lelaki cacat itu
hanya berlari dan berteriak-teriak. Dia mengerti lelaki tampan itu menghilang
diantara gelombang laut pantai Prigi itu. Meninggalkan silsilah keluarga
terakhir pembawa kutuk orang bertuhan. Menghilangkan kata keluarga PKI dalam
telinganya, dan mengilangka semua yang menindih benaknya.
Komentar
Posting Komentar