Entah sejak kapan aku mulai berubah,
dengan keadaan ini. Dunia memang selalu berputar dan berganti. Namun,
seharusnya aku tak ikut dengan arus perubahan ini semua. Aku juga tak pernah
mengerti tentang jejak hidup yang aku alami. Hari ini adalah hari ini, bagaimana
aku dapat hidup untuk hari ini. Berjalan dengan musik embongan , kempyengan
dengan bunyi tak karuan yang dipadu dengan suaraku yang kadang aku buat
se-eksotik mungkin.
Malam ini seperti malam biasanya, aku berdandan dengan
pakaian wanita. Jika aku dipanggil dengan sebutan “banci” sebenarnya hatiku sendiri tersayat. Aku BUKAN BANCI, aku
hanya mencari uang untuk hidup. Hanya sekedar itu. Tolong hentikan tatapan itu
ke aku. Aku muak, benar-benar muak.
Aku berjalan dengan teman seperjuanganku, Andi. Dia sama
saja denganku, namun dimana pun yang namanya senioritas pasti ada. Dia jauh
lebih senior dibanding denganku. Dan karna dia, aku pun berani menapakkan
kakiku dilantai jalanan dengan semua ini menyelami dunia yang kadang tak pernah
terbayangkan dibenakku.
Ini pukul 7 malam, kita mulai beroprasi dijalan kecil
dekat Royal Plaza. Untuk waktu tertentu
saja kami disini tergantung arus jalan yang ada. Semakin padat, semakin panas dan semakin
menginjak hargadiriku. Aku tak begitu
faham untuk cerita hari ini, ada jadwal si PP jalan-jalan.
Sekuat mungkin aku berlari, namun seberapa mampu aku untuk
berlari. ini dan itu sepatu kuda dan baju aneh ini. Sudahlah aku tau akhirnya
aku pun tertangkap. Ini semua sudah aku
fikirkan, apa yang akan jadi konsekewenku untuk ini semua.
Aku masuk ruangan yang mendata tiap banci yang tertangkap.
Ini kali pertamaku masuk ruangan disini. Aku duduk didepan PP wanita, yang akan
mendata namaku.
Hari ini mungkin aku jatuh, dan jatuh tertimpa tangga.
Wanita itu dulu pacarku yang hampir aku nikahi. Sungguh, ini apa ? dia sadar
ini aku. Aku juga tau tatapan itu. Aku tau kamu tak pernah mengira ini aku. Aku
sendiri tak pernah mau mengaku bahwa ini aku yang sekarang buka Bayu yang dulu.
Aku kalah dengan semua ini. Maaf Ani, . . .
“Bayu,” dia sedikit terngangah, aku tau kamu kaget. Dia merunduk. “Ehem. . . “ dia memperbaiki nada suaranya “Nama”
“Bayu Satria” jawabku singkat, aku juga tak mau
melihatnya.
“Alamat” katanya tegas
“Jl.Kentjana 89 purwo adhem”
“Berapa kali beroprasi?”
“Baru kali ini.” Aku tidak dapat berkata-kata lagi.
“Silah kan keluar,”
katanya tegas. Kamu malu bertemu denganku dengan keadaan seperti ini?.
Aku juga malu bertemu denganmu dengan keadaan seperti ini.
Sungguh malu, dan benar-benar malu.
Aku keluar kantor satpol PP ini. Aku berjalan pulang, aku
lepas wink dan sepatu hight hillsku ini. Aku tidak dapat berkata apa-apa. Aku
duduk tersungkur disamping jalan setapak ini. Aku tak pernah mengerti tentang
jejak semua ini. Aku tak pernah mengerti Tuhan. Aku menangis untuk kesekian
kalinya.
“Bay,” aku terbangun dari lamunanku, suara itu. Aku lihat Ani
memanggilku. Dia naik motor bebeknya yang dulu. Dengan gaya yang sama seperti
dulu.
Dia menganggukan kepalanya, aku tau dia mengajakku untuk
pulang bersama. Aku setuju untuk pulang bersamanya. Naik motornya, dan aku
diboncengnya. Fikirkan itu. . . . ini aku yang sekarang Ani. Aku tersungkur dan
terinjak harga diriku.
Ini gila, dua tahun lalu aku yang menggoncengnya. Dan
sekarang ? aku yang digoncengnya dengan keadaan yang benar-benar hancur. Aku
merangkul pinggangnya. Dan entah malam ini akan berakhir seperti apa ?
Aku tak mampu menjelaskannya lagi.
Komentar
Posting Komentar