Langsung ke konten utama

Perjalanan Pulang

 It has been three months ago, 

Ceritanya seperti ini, berawal dari dia yang menelfonku terlebih dahulu. well it's oke, so far aku anggap dia teman kerja yang baik. i tried to be good to every one, dan tidak menggapnya lebih. he talked much, too much. 

sampai suatu hari saat ada rapat keluar kota dan aku diajaknya, ini ceritanya rada ruet sampai aku diajaknya. lebih dari itu karena aku lebih merasa kasihan dan ingin membatu saja. dari sinilah aku baru paham maksudnya, hold on, i was innocents girl. 

Di kota yang asing, notabene aku yang jarang keluar. saat itu aku keluar dengannya sampai pukul 2 pagi, keliling kota. sampai sini aku hanya menggap dia orang baik, dan enggak menaruh rasa padaku posisinya dia beristri. Dari sini aku menganggapnya teman baik, dan orang baik tidak lebih dari itu. Apapun yang dia katakan aku anggap becandaan dan bukan hal yang lebih dari itu. Pertama karena dia punya istri dan berkeluarga serta dari keluarga baik-baik. 

Sampailah kita diperjalanan pulang, awalnya dia bertanya 

" Menurutmu aku seperti apa ?"

"Baik," dia ngelihat aku sambil nyetir 

"Baik aja ?"

"Mau jawaban jujur ?" aku bertanya 

"Iya"

"Gini, kadang menurutku kamu itu aneh, riwuh sendiri, tapi over all kamu baik, meski kadang marah-marah. Entah itu marah atau apa, cuman akunya jadi takut. Mungkin kamu ngerasanya enggak marah, tapi orang itu lihatnya kek marah gitu. Tapi kamu juga perhatian, kadang perhatian itu enggak harus diperlihatkan."

"Gimana enggak marah, wong kamu setengah-setengah." 

Mulailah ini percakapan jadi deep banget menurutku. Akunya yang biasanya cekikikan jadi rada horor. 

"Aku yakin kamu paham, tapi pura-pura enggak paham."

Mulailah disini aku bingung

"Gimana ?"

"Umpama, di pembagian kamar waktu rapat kamu satu kamar sama aku gimana ?"

"Ya.. aku ambil kamar lainlah."

"Kenapa enggak satu kamar aja."

"Ngawure talah, bukan mahram. Terus kan jaga perasaan istrimu."

"Diakan gak paham"

"Tuhan tau,"

"Orang-orang boleh, kenapa kita enggak ?"

"Itukan orang-orang,"

"Untung kamu setengah-setengah, coba enggak, udah abis kamu."

Deg, disinilah aku kaget 

"Kamu di kota yang asing kenapa mau pergi sama aku?"

jelas saja aku jawab 

"Ya, karena aku ngerti job desknya disini ngapain. Kamu rapat, aku jalan-jalan. terus kenapa aku enggak ambil kesempatan itu."

"Dasar Omdo." dia ngedumel sendiri

"Aku pikir, selama ini kamu cuma candaan. toh itu cuma chat dan gak beneran." rada gak terima donk akunya

"Lah emang, kamu ngapain aku ?"

"Dasar setengah-setengah,"

"Kamukan punya istri,"

"Dia ngerti kalo aku kayak gini, dia cemburuan berat. nomor kamu aja yang enggak dibloknya."

"Terus dia gimana ?" disinilah aku enggak habis pikir, ko ada orang macam gini. 

"Mungkin kebawa dari kebiasaan dulu. mungkin kalo ngerti ceritaku kamu yang bukan apa-apanya istriku bakal marah."

Dari sinilah aku mulai paham, wanjirrrr..... 

"Maaf, aku enggak paham maksudmu selama ini. Aku pikir ya cuma candaan ajah."

"Kamu ngerti groupie ?"

"Fans"

"kayak gitu, selama kita enggak respon kita aman. kalo kita respon pasti jadi."

Gini aku enggak jelas background dia apa, tapi yang jelas ketika dia cerita dia termasuk anak band, manager, dan suka bikin event musik. 

i'm not that type, jadi enggak paham musik-musik atau band-band yang dia besarin. Intinya gini, having sex sama groupie itu udah hal biasa, ganti-ganti cewek juga udah biasa. 

Sebentar, disinilah aku merasa kenapa aku. Apa aku terlihat murahan ?

"Kenapa aku?"

"Kamu pinter, aku terobsesi dengan cewek pinter"

"Aku enggak pinter, notabene banyak yang lebih pinter dari aku"

"Tapi menurutku kamu itu pinter,"

"Padahal aku enggak pinter."

"Insting, aku harus dapetin kamu."

"Maaf, aku enggak ngerti maksudmu."

"Kenapa kamu minta maaf, aku enggak pernah maksa, dan enggak akan pernah maksa. itu prinsip aku."

Dari sini aku enggak pernah berexpectasi, orang yang menurutku baik bisa seperti itu. Aku enggak pernah ngerti apa yang ada dalam pikirannya. Aku benar-benar enggak paham. 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Imtaq dan Iptak

IMTAQ DAN IPTAK Imtaq merupakan singkatan dari iman dan taqwa, sedangkan iptek adalah singkatan dari ilmu pengetahuan dan teknologi. Saya rasa padanan kata ini tidak asing lagi bagi kita. Iman dan taqwa bersumber dari hati sebagai bentuk hubungan positif manusia dengan Tuhannya. ’Imtaq pada diri seseorang menunjuk kepada integritas seseorang kepada Tuhannya Mantan Presiden RI, Bapak B. J. Habibie pernah berkata, “Sumber daya manusia yang mempunyai iman dan taqwa harus serentak menguasai, mendalami, dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek)," Kemudian beliau melanjutkan, "Seseorang tidak cukup beragama atau berbudaya saja, karena hanya akan menjadi orang yang baik. Sebaliknya, tidak cukup pula seseorang mendalami ilmu pengetahuan saja, karena hanya akan menjadikannya sosok yang menghalalkan segala cara dalam mencapai tujuan," katanya. Ingat bahwa kita adalah mahasiswa. Rangkaian kata yang selalu mengiringi kata mahasiswa adalah “the agent of change”. Kita

Berakhir

Saat aku menulis ini mataku sudah tidak sembab lagi, iya benar. Ini tentang kamu lagi, entah ditulisan keberapa aku mengatakan memang sebaiknya kamu tidak kembali.  Sebulan lalu aku mendengar kalau kamu akhirnya menikah dengan gadis itu, gadis yang membuatku sebenarnya merasa kalah. Benar-benar kalah, karena dia yang pada akhirnya memilikimu.  Dengan banyak drama, dan yaahh. . . aku bukan wanita yang tepat untukmu. Kali ini biarkan saja aku sedikit mengingat hal-hal kecil yang selalu membuatku teringat olehmu.  "Hari ini masak apa ?"  aku selalu merindukan kata-kata seperti ini sepeleh memang, tapi ada hal yang membuatku merasa kalau masakanku yang tidak jelas ada yang menanti.  Apa kamu ingat kotak tempat makan ungu yang aku isi bekal waktu itu. Aku ingat saat itu masih pagi, dan kamu berangkat kerja. Aku mengisi kotak makan itu dengan gorengan bandeng yang sudah keras. Entah apa yang aku pikirkan saat itu.  Atau, saat aku jatuh dan kamu mengobatiku sambil berjongkok. Aku me

Cerpen : Hujan

Hari itu seperti biasa, matahari masih terbit dari timur. Aku mengeluarkan sepedah ontel warisan keluargaku. Aku menuntunya  menuju halaman. Dari dalam masih terdengar ribut-ribut ayahku yang masih saja membuat  ibu sakit. Rasanya ingin aku plester saja mulutnya. Bila tak ingat itu ayahku satu-satunya atau mungkin ancaman neraka jahanan karna menjadi anak durhaka. Pagi ini seperti biasa, ibu menyuruhku cepat-capat  berangkat sekolah. Bukan karna aku akan terlambat masuk sekolah. Tak lain dan tak bukan agar tak mendengar omelan ayah padanya. Sungguh aku tak sanggup hidup dengan seorang ayah yang seperti itu. Kadang aku berharap ayahku terbawa oleh kapal bajak laut agar dia tak lagi membuat ibuku menangis. Namun kenapa Tuhan menakdirkan ibuku menikah dengan ayah. Pelet apa yang digunakan ayah sampai-sampai ibu betah dengannya. Kadang aku panjatkan do’a berharap ini semua hanya mimpi. Dan saat aku terbangun aku memiliki keluarga yang bahagia. Dengan seorang ayah yang tak p