Langsung ke konten utama

Cerpen : Si Kleptomania lagi SIALLL



“Sial” gumamku dalam hati, aku berjalan semakin cepat. Baru kali ini aku dikejar orang. Dia berteriak memanggilku.
“Mbak, berenti !” dia mulai berlari mengejarku. aku pun angkat kaki dan mulai berlari semampuku. Tak sedikit pun aku toleh orang itu. Dia terus saja berteriak memangil “Mbak.. mbak”. Dasar tukang bakso, sialan. Jantungku mulai berdegup dengan kencang.
Aku melihat ada sebuah taxi yang markir dipinggir jalan, tak ambil pusing aku naik taxi itu dan menyuruh sopirnya tancap gas. Aku lihat orang itu masi berteriak “Mbak” dan menyuruhku berhenti.
Dasar tukang bakso “goblok”. Aku mengeluarkan sendok dari dalam tas kecil yang dari tadi aku gendong. Aku menyuruh, supir taxi itu berhenti di depan rumahku. Setelah memberi uang pada sopir taxi itu. Aku langsung masuk kedalam rumah, dan langsung menuju kamarku.
Aku membuka laci di dalam lemariku. Ini sendok ke-1230 yang telah aku curi. Konyol memang, tapi entah lah..? aku menyukainya. Aku ingin tertawa saat mengingat kejadian tadi. Baru kali ini ada penjual yang mengejarku.
Aku berbaring di ranjang, melihat langit-langi kamarku yang gelap. Aku mulai merogoh sakuku, tidak aku  temukan HP yang aku taruh disana.
“Ah… biarkan saja, yang penting aku dapat sendok itu” aku tertawa lagi.
***
Aku berjalan pelan-pelan, dan “Dar…” aku mengagetkan mbok jah yang sedang masak. Aku tertawa terpingkal. Ini mbok jah yang setiap hari menemaniku.
“Semelekete”. Latah mbok jah, yang khas nyotek iklan tv.  Dia mengelus dadanya yang sepertinya tidak akan copot walau pun aku kagetkan 1000 kali lagi. Dia hanya pembantu, dan dia satu-satunya manusia  yang mengerti kegilaanku.
Aku tertawa lagi. “Ngambil sendok dimana lagi non?” Tanya mbok jah, tiba-tiba.
Aku tersenyum. “Diwarung bakso depan. Mbok, Aku tadi dikejar-kejar sama anak tukang bakso itu . Untungnya ada taxi dan aku bisa kabur.” Aku bercerita dengan semangat.
Mbok jah, hanya mengelus dada “Non, nanti kalo ketangkep gimana?”
Tertawaku semakin menjadi. “aku ini pencuri sendok yang sudah terakriditasi A. jadi mbok jah tenang saja” aku membusungkan dada. Seperti mencuri itu hal yang biasa untukku.
Sebenarnya aku mengerti, aku mengidap penyakit kleptomania. Penyakit orang-orang sarap, suka ngambil barang-barang nggak penting dan setelah itu merasa senang. Padahal aku beli pun juga aku mampu.
Jika hari ini aku kertangkap anak tukang bakso itu dan dia berteriak maling. Bisa habis aku dikeroyok masa. Memang aku hanya mencuri sebuah sendok. Tapi, menurutku ini jauh lebih membahagiakan ketimbang aku dapat nilai A. Aku sudah mengumpulkan 1230 sendok dari semua tempat makan yang aku kunjungi dan itu semua mencuri.
Hebat bukan…
Tidak ada seorang pun yang tau, aku suka mengambil sendok ditempat yang telah aku kunjungi, kecuali mbok jah.
Aku juga tidak pernah berfikir jika, suatu hari semua teman-temanku menyadari aku seorang klepto. Jika mereka tau pun, aku tak peduli. Mungkin hanya jabatanku sebangai kepala senat dicopot oleh mereka.
Ayahku memberi uang yang jauh lebih dari cukup. Ibu…. Sudah pass away sejak aku bayi. Mbok jah, pembantukku dari orok. Ya… begini lah, aku sering membuang masalahku dalam tumpukan buku. Dan aku juga lupa kapan kali pertama aku menjadi seorang klepto.
Kalian tau rasanya, saat aku bisa lari dengan sendok curian itu. Seperti, kepuasan yang entah aku sendiri tidak dapat menggambarkan perasaan itu. Debar jantung saat mengambilnya, dan membawanya lari itu menurutku hebat.
Tolol mungkin, bertanya kenapa aku suka melakukan itu. Mencuri sebuah sendok, iya itu hanya memcuri sebuah sendok ! tidak berguna. Tapi menurutku itu jauh lebih berharga dari uang dalam dompetku. Konyol, memang sangat konyol. Aku biasa berfikir dengan logika, dan kadang mencoba berhenti untuk melakukan itu. Tapi, apa ? aku selalu pulang dengan sendo-sendok baru.
aku duduk dibalkon, dengan semilir angin yang berhembus. Ini rumahku, seperti kubura dan dilamnya ada mayat hidup. Tak lebih itu aku, hidup tapi tak pernah merasa hidup kecuali saat berlari dan tertawa mengambil barang-barang curian.
Aku sedikit terkejut saat melihat anak tukang bakso itu, berada didepan gerbang rumahku. Bagaimana mungkin dia tau rumahku. Aku tadi sudah meninggalkannya jauh. Aku mulai takut jika, dia tau aku yang mencuri sendok diwarungnya.
“Sialan,” umpatku untuknya. Aku turun dari balkon, dan meminta mbok jah agar tidak usah membuka gerbang untuk anak tukang bakso itu.
“Biar tau rasa, mati kering lu diluar.” Aku tersenyum bahagia. Aku kembali kekamar dan mulai tidur.
***
Mungkin hari ini hari tersialku. Anak tukang bakso itu, menunggku diluar gerbang. Bagaimana aku bisa kuliah jika dia disana. Oke, aku akan menunggu dia sampai pergi.
“Berapa lama, lu mampu nunggu gue diluar.” Aku tersenyum yakin.  Aku melihatnya sudah berbalik dan mengendarai motornya.
Aku mulai keluar pelan-pelan.  Aku berjalan santai menuju kampus yang jaraknya tak jauh dari rumah.  Aku bersiul-siul, dan tiba-tiba
“Mbak” seorang cowok mengendarai motor berhenti tepat didepanku.
 Aku mulai panic, jangan-jangan ini tukang bakso kemarin. Tak pikir panjang, aku berbalik dan berlari semampuku. Aku sudah melihat gerbang depan rumahku,
“Mbak” dia menarik tasku. Aku berusaha melepaskan tasku. “Sial” tanganku dipengang olehnya.
“Mas, aku nggak ngambil apa-apa!  Beneran suwer. Biarin aku masuk, apa sendoknya mau aku ganti. Barapa ?”. aku  nyerocos nggak karuan, aku ngeluarin semua uang didompetku dan memberikan padanya. Aku mencoba melepas tangan penjual bakso itu.
“Mas, tolong biarin aku masuk.” Aku mulai merengek. Dia menatapku aneh.
“Mbak, ini ngomong apa?” dia mengeluarkan HP dari sakunya “Saya Cuma mau, ngembaliin HPnya mbak yang ketinggalan diwarung saya.”
Apa ???? sialan ni orang, udah mau mati ketakutan. Ternyata Cuma mau balikin HP. Aku terdiam, dan mulai  tertawa. “Oh… HP. Iya.. HPku ilang kemarin” aku tertawa aneh. Semoga dia tidak curiga. Dia memberikan HP itu padaku.
“Mbaknya, aneh. Waktu saya panggil malah lari.” Dia tersenyum. Aku tak tau harus ngonmong apa.
“Makasi, udah ngembaliin HPku” aku memberinya uang, hanya untuk balasan terimakasi.
Dia menolak, “Saya, iklas ngembaliin HP ke mbak. Cuman nggak iklas cewek cantik kayak mbak jadi klepto.” Katanya sambil menstater motornya. “Permisi mbak”.
Aku terdiam, berarti sebenarnya dia tau kalo aku ngambil sendok diwarungnya. Terus, . . . kenapa dia Cuma bilang gitu doak. Kenapa dia nggak teriakin aku pencuri atau apa gitu. Dasar sarap,!!!.
  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Imtaq dan Iptak

IMTAQ DAN IPTAK Imtaq merupakan singkatan dari iman dan taqwa, sedangkan iptek adalah singkatan dari ilmu pengetahuan dan teknologi. Saya rasa padanan kata ini tidak asing lagi bagi kita. Iman dan taqwa bersumber dari hati sebagai bentuk hubungan positif manusia dengan Tuhannya. ’Imtaq pada diri seseorang menunjuk kepada integritas seseorang kepada Tuhannya Mantan Presiden RI, Bapak B. J. Habibie pernah berkata, “Sumber daya manusia yang mempunyai iman dan taqwa harus serentak menguasai, mendalami, dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek)," Kemudian beliau melanjutkan, "Seseorang tidak cukup beragama atau berbudaya saja, karena hanya akan menjadi orang yang baik. Sebaliknya, tidak cukup pula seseorang mendalami ilmu pengetahuan saja, karena hanya akan menjadikannya sosok yang menghalalkan segala cara dalam mencapai tujuan," katanya. Ingat bahwa kita adalah mahasiswa. Rangkaian kata yang selalu mengiringi kata mahasiswa adalah “the agent of change”. Kita

Berakhir

Saat aku menulis ini mataku sudah tidak sembab lagi, iya benar. Ini tentang kamu lagi, entah ditulisan keberapa aku mengatakan memang sebaiknya kamu tidak kembali.  Sebulan lalu aku mendengar kalau kamu akhirnya menikah dengan gadis itu, gadis yang membuatku sebenarnya merasa kalah. Benar-benar kalah, karena dia yang pada akhirnya memilikimu.  Dengan banyak drama, dan yaahh. . . aku bukan wanita yang tepat untukmu. Kali ini biarkan saja aku sedikit mengingat hal-hal kecil yang selalu membuatku teringat olehmu.  "Hari ini masak apa ?"  aku selalu merindukan kata-kata seperti ini sepeleh memang, tapi ada hal yang membuatku merasa kalau masakanku yang tidak jelas ada yang menanti.  Apa kamu ingat kotak tempat makan ungu yang aku isi bekal waktu itu. Aku ingat saat itu masih pagi, dan kamu berangkat kerja. Aku mengisi kotak makan itu dengan gorengan bandeng yang sudah keras. Entah apa yang aku pikirkan saat itu.  Atau, saat aku jatuh dan kamu mengobatiku sambil berjongkok. Aku me

Cerpen : Hujan

Hari itu seperti biasa, matahari masih terbit dari timur. Aku mengeluarkan sepedah ontel warisan keluargaku. Aku menuntunya  menuju halaman. Dari dalam masih terdengar ribut-ribut ayahku yang masih saja membuat  ibu sakit. Rasanya ingin aku plester saja mulutnya. Bila tak ingat itu ayahku satu-satunya atau mungkin ancaman neraka jahanan karna menjadi anak durhaka. Pagi ini seperti biasa, ibu menyuruhku cepat-capat  berangkat sekolah. Bukan karna aku akan terlambat masuk sekolah. Tak lain dan tak bukan agar tak mendengar omelan ayah padanya. Sungguh aku tak sanggup hidup dengan seorang ayah yang seperti itu. Kadang aku berharap ayahku terbawa oleh kapal bajak laut agar dia tak lagi membuat ibuku menangis. Namun kenapa Tuhan menakdirkan ibuku menikah dengan ayah. Pelet apa yang digunakan ayah sampai-sampai ibu betah dengannya. Kadang aku panjatkan do’a berharap ini semua hanya mimpi. Dan saat aku terbangun aku memiliki keluarga yang bahagia. Dengan seorang ayah yang tak p