Dibalik senja, matahari menguning bagai buah jeruk polen
yang masak. Rasanya asam manis, namun sepertinya sore yang serasa asam manis
hanya untuk dinikmati beberapa ekor orang saja. Menghela nafas, dengan
memandang kearah matahari sore membuatku menjadi teringan Aini.
Mungkin sekarang dia sudah berumur lima tahun. Aini bukan
siapa-siapaku, saudara, kerabat atau tetangga saja bukan. Tapi yang ada satu
hal yang membuatku teringat akan dia. Dia masi dapat bernafas,tersenyum dan
tertawa hingga sekarang.
24 september 2006
Seorang
anak kecil berlari dan menabrakku. Es krim yang dibawanya tumpah mengenai
celana jinsku. Seorang ibu muda berlari menghampiriku. Aku hanya tersenyum
sekejap. Rasa dongkol dihati masi berkecambuk. “dasar anak kecil gak’ tau
aturan” ungkakapku dihati.
Wanita
itu menggandeng anaknya. Dia memberikan
tisu padaku untuk membersikan celana. Dia minta maaf atas kesalahan anaknya. Kita
duduk di bangku taman, dan aku membersikan celanaku.
Wanita
itu mengulurkan tangannya. “Riana” katanya. Aku pun menyebutkan namaku. Entah
bagimana awalnya kita bisa memulai sebuah percakapan yang membuat kita memjadi
akrap.mungkin sikap Riana yang ramah.
Ada fakta
yang membuatku sedikit tercengang, anak itu bukan kurus karna tak perna diberi
makan atau kurang asupan nutrisi tapi dia memang terkena penyakit. Sebuah penyakit
yang tak pernah terbersit dibenakku akan di idap oleh anak sekecil ini. AIDS sebuah penyakit yang
dianggap tabuh. Penyakit yang masi belum ada obatnya, kecuali kematian. Aneh,…
anak sekecil itu terjangkit penyakit seperti itu.
Tak ada
seorang pun didunia ini yang ingin mengalami kesialan. Namun kesialan itu
kadang suatu kebetulan yang tak pernah direncanakan. Awal dari semua kesialan
ini berawal dari kecelakan yang menimpa keluarganya. Kecelakaan itu merenggut
nyawa suaminya, dan hampir merenggut
nyawanya sendiri. Aini masi berumur 16 bulan. Aini kecil kekurangan dara.
Entah
bagai mana yang terjadi, dara yang masuk kedalam tubuh Aini punya bibit AIDS.
Dan itu yang terjadi, Aini sekarang terkena AIDS. Aku tak habis fikir bagaimana
bisa dara yang terkena AIDS dapat terdonorkan.
Air
mata menetes, memenuhi pelupuk mata wanita itu. matanya meloncat-loncat
mengikuti gerak Aini. Walau aku belum perna menjadi ibu,tapi ibu mana pun yang
tau anaknya akan mati. Dia akan relamelakukan apapun untuk menggantikannya mati.
Mata gadis
kecil itu tak bercahaya, seperti gadis kecil yang lain. Tapi yang pasti dia
seorang anak yang kuat dan tegar. Saat matahari terbenam, saat cahaya hilang.
Gelap menyelimuti cahaya. Saat itu lah bagi Aini semuanya menjadi hitam.
Virus itu
sudah menyerang matanya. Disela loncatannya, terselip batuk yang membuatnya
berhenti meloncat. Riana mendatangi Aini dan menyuruhnya untuk duduk disebelahnya. Dia mengelus kepala gadis
kecil itu. Mataku panas, rasanya aku ingin menangis. aku tadahkan mukaku
kelangit sore. Hatiku menyesal, mengumpat anak kecil ini. Aku lihat jam
tanganku menunjukkan pukul 17.12 aku berdiri dan berpamitan pada Riana. Aku
menyalami gadis kecil itu. “Maaf” ungkapku dihati padanya. Aku berbalik dan
meninggalkan mereka.
Seakan cerita ini hanya cerita cuplikan dalam filem. Sebuah
kesalahan kecil dari instusi rumah sakit yang menyebabkan nyawa seorang anak
menjadi korbannya. Tapi sungguh kawan,ini bukan cerita buatan manusia. Tapi
cerita buatan Tuhan.
Cerita hidup seorang yang kadang tak pernah tertebak apa
yang akan terjadi kelak.
by: April
by: April
Komentar
Posting Komentar