Langsung ke konten utama

Cerpen : Berlian Oekusi


Diantara kulit hitam pelupuk jingga, diatara merah putih sang dwi warna. Diatara tumpukan batu alam yang terpecah. Katakanlah kami orang timur dengan kulit hitam. Mengkringting rambut karna keturunan.

Bukan menyesal dibatas negara. Bukan marah karna ulah pemerintah atau pun enggan mengungkap asah. Dengan rumah beratab rumbai, bertembok kulit matoa. Benar berbaju namun tak bertuah.

Berjalan dengan kaki tak beralas, diatara tanah tak beraspal. Melihat langit dengan terang. Mengijak bumi pertiwi dengan tertawa. Mungkinkah kami mengeluh dengan pemberian tuhan, tak usah bertanya dengan sekolah atau pun fasilitas. Berbahasa ibu saja tak jelas. Membaca kata orang adalah keharusan. Namun belajar kehidupan adalah kewajiban.

Bukan mengeluh si rambut keriting kulit hitam. Berjalan dengan menggedong makanan dikepala. Umurnya baru 2 tahun, namun jangan tanya apa dia berjalan dengan sempoyongan. Kakinya serasa terbuat dari tanah tak bertuan, dengan keras dan membawa beban yang cukup ringan. Dia tersenyum, giginya putih seakan tak berarti.

Berjalan menuju tambang dengan 5 saudara, menjadi anak paling tua jadi beban ketika sang adik harus bersama. Berjalan beriringan dengan yang paling tua berada dibelakang. Ini hari senin kata orang kota, namun apa beda dengan hari sebelumnya. Masi berjalan ditambang dengan martil sesuai dengan kecakapan masing-masing.

Masi berjalan diantara pohon-pohon rimbun dengan tanah kering, langit biru dengan awan putih mengumpal. Tak usah bersedih karna, ini bukan musibah untuk mereka. Masi dapat makan dan bernafas, masi dapat tersenyum dengan semua keterbatasan. Kata orang ini keterbelakangan, kata orang ini keterpurukan dan kata orang ini memprihatinkan. Iya... itu kata orang dijawa dengan ibu kota negara.
Namun, ini bukan seperti apa yang difikir dengan kebodohan atau pun keglisahan. mereka tetaplah bahagia walupun tak berfasilitas seperti mereka.

Ini tambang mereka, tumpukan batu yang terpecah. Beberapa hari lagi mereka akan mendapat upah untuk ini semua. Itu ramos, adhik kristi yang paling kecil. Boleh jadi umurnya baru 2 tahun dengan sekenanya dia memukul batu agar jadi kecil. Dilihat tak ada yang dia lakukan kecuali memukul mukul batu sekenanya dan tak menghasilkan apa-apa. Terserah lah.. yang penting dia tak mengangis. Tempo hari tangannya terpukul martil kecilnya dia menangis sejadi-jadinya.

5 anak manusia dengan 2 orang tua yang yang pantang menyerah. Semua bekerja ditambang batu ini. Panas menyengat dibawah terik matahari di bawa atap berpenutup rumbai daun tebu.
Mereka berbicara seperlunya, hanya senyum dibibir mereka saat orang asing berada disekitar mereka. Aku yang mulai bertanya-tanya apa yang sedang mereka lakukan.
Mereka menjawab dengan lirih, sampai-sampai aku seperti orang tuli yang sedang bertanya-tanya.

Kadang aku sedikit herang dengan keadaan ini. aku masi berada dibumi pertiwi dengan hasil alam yang sungguh melimpah. Namun rakyatnya masi menjadi kuli dan tak dapat makan, tak dapat penerangan dan tak dapat fasilitas.
Ini kenyataan dengan bumin pertiwi.

Panas terik matahari menusuk kulitku, peluh menetes dari kening. Aku masi duduk diantar keluarga kecil ini, mereka tak memperdulikan aku. Sesekali mereka melihatku dan tersenyum. Sedikit terenyuh hatiku saat melihat mereka, namun apakah mereka juga merasa ini penderitaan. Aku tak melihat derita dimuka mereka.

Matahari semakin meninggi dengan panas yang menghujam kulit. Sedikit geram hati ini saat melihat ini semua. Dibatas negara yang tepat bersebrangan dengan negara Timur-timur, yang dulu adalah wilayah Repubulik Indonesia.

Dalam pulau yang sama namun hanya terbataskan dengan jembatan berpenjaga, semuanya berubah 180’. Negri tampa penerangan, sedikit tergugah nuraniku apa yang mereka fikirkan dengan negara ini.
“ Bapak’ suaraku membuka percakapan. Semua kepala dalam gubuk pemecah batu ini melihat kearahku. Seakan aku adalah seorang polisi yang akan mengintrogasi seorang penjahat. Waktu berheti dan mereka melajutkan pekerjaan mereka memecah batu.

Kepala keluarga itu tersenyum. Aku tau dalam benaknya kenapa saya memanggilnya. Aku mulai terdiam, hendak dimulai darimana sebuah pertanyaan konyolku. Untuk membuka sebuah percakapan dengan keluarga asing yang bersebrangan dari rumahku.
“Berapa tahun bekerja seperti ini?”
“27 tahun” suaranya sedikit parau, dan logat khas orang nusatenggara.
Selama itukah seorang ini bekerja dengan sebuah martil dan memukul batu untuk dijual. Daerah Oekusi, batas terdepan NKRI dengan keadaan sebuah negara yang merdeka 67 tahun tampa tersentuh dengan fasilitas yang sangat remeh dalam pandangan kita.

“Kenapa tidak merantau ke Timur-timur?”
Dia hanya menggeleng. Aku semakin penasaran kenapa mereka tidak mencoba untuk pergi merantu ke Timur-timur. Mereka tersenyum kembali, apa yang membuat mereka tersenyum. Ini suatu hal yang tak lucu fikirku. Bagai mana mungkin mereka tatap memilih dengan keadaan seperti ini.

keluarga ini bukan satu-satunya keluarga pemecah batu. Aku melihat sekeliling, ada 10 kelurga dengan keadaan yang sama, mereka tak perduli dengan semua ini. mereka hanya melanjutkan pekerjaan mereka.

Ketika bumi mulai tertutup awan, gelap mendung sore mulai menyelimuti sisi bumi. Mereka mulai beranjak dari tempat duduk mereka. Peluh menetes sekenanya jatuh dengan ringan dikening dan baju mereka. Beranjak mereka pulang, aku mengikuti mereka dari belakang. Tak ada rasa kebertatan tertuang dalam sisi mereka. Jalan tadi pagi kini menggelap, seperti terjungka dalam kegelapan. Jalan itu tertutup pekat malam.

Jangan berkata lampu. Listrik saja tak ada. Sampai mereka pulang dengan suatu hal yang sepertinya sudah hapal. Penerangan dengan cahaya bulan, mereka dapat meletakkan semua peralatan itu dengan posisi dan tempat yang benar. Maria mengambil obor keci yang berada disampingku. Dalam sekejap, rumah gelap ini berubah berwarna kuning dari cahaya lampu minyak. Sedikit mengerut hatiku melihat kejadian ini.

Ini bukan jaman penjajahan dengan lampu penerang sebuah lampu minyak. Aku sedikit menyerah dengan keadaan seperti ini. bulan bersinar begitu terangnya, bintang seakan menjadi kawan dalam gelap. Apa ini yang membuat mereka tersenyum setiap paginya. Apa ini yang membuat mereka tetap bertahan dengan keadaan tak sewajarnya ini.

Bukan sebuah tuntutan besar untuk sebuah penerangan untuk negara kaya seperti Indonesia dengan DPR yang dapat jalan-jalan keluar negri dengan gaji tiap bulan yang dapat memberi makan 2 bulan satu kampung Oekusi.  Aku menekuk kakiku, mereka tersenyum melihatku. Entah, kenapa mereka seperti tak merasakan hal yang begitu berkecambuk dalam benak saat melihat semua ini.

Mereka mengajakku makan malam, dengan logat yang tak aku mengerti. Namun aku mengerti itu adalah logat untuk mengajak makan. Aku tersenyum dengan keadaan ini, mereka tak mengeluh. Sedikit percakapan yang tak lama untuk menghangatkan suasana.

Matahari sudah membumbung diantara awan-awan pagi, apa yang mereka lakukan seperti hari kemari dan kemarinnya lagi. Kembali ketambang dan memecah batu lagi. Hari ini aku pulang kembali ke negri asalku dengan debar dada yang sedikit terkobar. Aku kembali melanjutkan pekerjaanku untuk negara. Aku puas dengan jawaban orang hitam itu.

“ Kenapa bapak tindak mencoba untuk merantau ke Timur-timur”
Dia menggeleng lagi “saya lebih senang di Indonesia”
“Kenapa?” aku semakin bertanya
“Saya mencintai Indonesia”
Aku sedikit terenyuh mendengar kata itu. Apa anda mendengar itu bapak presiden? Apa anda mendengar itu bapak DPR? Apa anda mendengar itu ?
Itu ucapan mendalam dan tulus dari seorang bangsa pada negaranya. Aku tak dapat berkata lagi, aku terdiam. Mataku sedikit berkaca.

Hari ini  saya mengerti apa yang dinamakan cinta tanah air. Mungkin untuk mereka ini suatu hal yang bodoh, benar-benar bodoh. Kenapa mereka tidak mencoba merantau? Hanya dengan alasan mereka mencintai negara ini. mereka yakin negara ini akan lebih baik dari sekarang. Mereka yakin dengan itu semua. Entah saya sendiri pun tak pernah tau dari mana keyakinan keluarga kulit hitam ini.

Namun, satu hal yang membuatku malu. “Kenapa saya tidak dapat mencintai negara ini seperti mereka?”

Saya kebali kekota, untuk membuat skripsi dari kabupaten Oekusi dengan jumlah penduduknya,data pekerjaan mereka, macam hal yang dapat aku buat untuk data skipsi statistikku ini. Namun, informasi kecintaan mereka untuk negara ini cukup lah saya saja yang tau.


        

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Imtaq dan Iptak

IMTAQ DAN IPTAK Imtaq merupakan singkatan dari iman dan taqwa, sedangkan iptek adalah singkatan dari ilmu pengetahuan dan teknologi. Saya rasa padanan kata ini tidak asing lagi bagi kita. Iman dan taqwa bersumber dari hati sebagai bentuk hubungan positif manusia dengan Tuhannya. ’Imtaq pada diri seseorang menunjuk kepada integritas seseorang kepada Tuhannya Mantan Presiden RI, Bapak B. J. Habibie pernah berkata, “Sumber daya manusia yang mempunyai iman dan taqwa harus serentak menguasai, mendalami, dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek)," Kemudian beliau melanjutkan, "Seseorang tidak cukup beragama atau berbudaya saja, karena hanya akan menjadi orang yang baik. Sebaliknya, tidak cukup pula seseorang mendalami ilmu pengetahuan saja, karena hanya akan menjadikannya sosok yang menghalalkan segala cara dalam mencapai tujuan," katanya. Ingat bahwa kita adalah mahasiswa. Rangkaian kata yang selalu mengiringi kata mahasiswa adalah “the agent of change”. Kita

Berakhir

Saat aku menulis ini mataku sudah tidak sembab lagi, iya benar. Ini tentang kamu lagi, entah ditulisan keberapa aku mengatakan memang sebaiknya kamu tidak kembali.  Sebulan lalu aku mendengar kalau kamu akhirnya menikah dengan gadis itu, gadis yang membuatku sebenarnya merasa kalah. Benar-benar kalah, karena dia yang pada akhirnya memilikimu.  Dengan banyak drama, dan yaahh. . . aku bukan wanita yang tepat untukmu. Kali ini biarkan saja aku sedikit mengingat hal-hal kecil yang selalu membuatku teringat olehmu.  "Hari ini masak apa ?"  aku selalu merindukan kata-kata seperti ini sepeleh memang, tapi ada hal yang membuatku merasa kalau masakanku yang tidak jelas ada yang menanti.  Apa kamu ingat kotak tempat makan ungu yang aku isi bekal waktu itu. Aku ingat saat itu masih pagi, dan kamu berangkat kerja. Aku mengisi kotak makan itu dengan gorengan bandeng yang sudah keras. Entah apa yang aku pikirkan saat itu.  Atau, saat aku jatuh dan kamu mengobatiku sambil berjongkok. Aku me

Cerpen : Hujan

Hari itu seperti biasa, matahari masih terbit dari timur. Aku mengeluarkan sepedah ontel warisan keluargaku. Aku menuntunya  menuju halaman. Dari dalam masih terdengar ribut-ribut ayahku yang masih saja membuat  ibu sakit. Rasanya ingin aku plester saja mulutnya. Bila tak ingat itu ayahku satu-satunya atau mungkin ancaman neraka jahanan karna menjadi anak durhaka. Pagi ini seperti biasa, ibu menyuruhku cepat-capat  berangkat sekolah. Bukan karna aku akan terlambat masuk sekolah. Tak lain dan tak bukan agar tak mendengar omelan ayah padanya. Sungguh aku tak sanggup hidup dengan seorang ayah yang seperti itu. Kadang aku berharap ayahku terbawa oleh kapal bajak laut agar dia tak lagi membuat ibuku menangis. Namun kenapa Tuhan menakdirkan ibuku menikah dengan ayah. Pelet apa yang digunakan ayah sampai-sampai ibu betah dengannya. Kadang aku panjatkan do’a berharap ini semua hanya mimpi. Dan saat aku terbangun aku memiliki keluarga yang bahagia. Dengan seorang ayah yang tak p