Diantara kulit hitam pelupuk jingga, diatara merah putih sang dwi warna.
Diatara tumpukan batu alam yang terpecah. Katakanlah kami orang timur dengan
kulit hitam. Mengkringting rambut karna keturunan.
Bukan menyesal dibatas negara. Bukan marah karna ulah pemerintah atau pun
enggan mengungkap asah. Dengan rumah beratab rumbai, bertembok kulit matoa.
Benar berbaju namun tak bertuah.
Berjalan dengan kaki tak beralas, diatara tanah tak beraspal. Melihat
langit dengan terang. Mengijak bumi pertiwi dengan tertawa. Mungkinkah kami
mengeluh dengan pemberian tuhan, tak usah bertanya dengan sekolah atau pun
fasilitas. Berbahasa ibu saja tak jelas. Membaca kata orang adalah keharusan.
Namun belajar kehidupan adalah kewajiban.
Bukan mengeluh si rambut keriting kulit hitam. Berjalan dengan menggedong
makanan dikepala. Umurnya baru 2 tahun, namun jangan tanya apa dia berjalan dengan
sempoyongan. Kakinya serasa terbuat dari tanah tak bertuan, dengan keras dan
membawa beban yang cukup ringan. Dia tersenyum, giginya putih seakan tak berarti.
Berjalan menuju tambang dengan 5 saudara, menjadi anak paling tua jadi
beban ketika sang adik harus bersama. Berjalan beriringan dengan yang paling
tua berada dibelakang. Ini hari senin kata orang kota, namun apa beda dengan
hari sebelumnya. Masi berjalan ditambang dengan martil sesuai dengan kecakapan
masing-masing.
Masi berjalan diantara pohon-pohon rimbun dengan tanah kering, langit biru
dengan awan putih mengumpal. Tak usah bersedih karna, ini bukan musibah untuk
mereka. Masi dapat makan dan bernafas, masi dapat tersenyum dengan semua
keterbatasan. Kata orang ini keterbelakangan, kata orang ini keterpurukan dan
kata orang ini memprihatinkan. Iya... itu kata orang dijawa dengan ibu kota
negara.
Namun, ini bukan seperti apa yang difikir dengan kebodohan atau pun
keglisahan. mereka tetaplah bahagia walupun tak berfasilitas seperti mereka.
Ini tambang mereka, tumpukan batu yang terpecah. Beberapa hari lagi mereka
akan mendapat upah untuk ini semua. Itu ramos, adhik kristi yang paling kecil.
Boleh jadi umurnya baru 2 tahun dengan sekenanya dia memukul batu agar jadi
kecil. Dilihat tak ada yang dia lakukan kecuali memukul mukul batu sekenanya
dan tak menghasilkan apa-apa. Terserah lah.. yang penting dia tak mengangis.
Tempo hari tangannya terpukul martil kecilnya dia menangis sejadi-jadinya.
5 anak manusia dengan 2 orang tua yang yang pantang menyerah. Semua bekerja
ditambang batu ini. Panas menyengat dibawah terik matahari di bawa atap
berpenutup rumbai daun tebu.
Mereka berbicara seperlunya, hanya senyum dibibir mereka saat orang asing
berada disekitar mereka. Aku yang mulai bertanya-tanya apa yang sedang mereka
lakukan.
Mereka menjawab dengan lirih, sampai-sampai aku seperti orang tuli yang
sedang bertanya-tanya.
Kadang aku sedikit herang dengan keadaan ini. aku masi berada dibumi
pertiwi dengan hasil alam yang sungguh melimpah. Namun rakyatnya masi menjadi
kuli dan tak dapat makan, tak dapat penerangan dan tak dapat fasilitas.
Ini kenyataan dengan bumin pertiwi.
Panas terik matahari menusuk kulitku, peluh menetes dari kening. Aku masi
duduk diantar keluarga kecil ini, mereka tak memperdulikan aku. Sesekali mereka
melihatku dan tersenyum. Sedikit terenyuh hatiku saat melihat mereka, namun
apakah mereka juga merasa ini penderitaan. Aku tak melihat derita dimuka
mereka.
Matahari semakin meninggi dengan panas yang menghujam kulit. Sedikit geram
hati ini saat melihat ini semua. Dibatas negara yang tepat bersebrangan dengan
negara Timur-timur, yang dulu adalah wilayah Repubulik Indonesia.
Dalam pulau yang sama namun hanya terbataskan dengan jembatan berpenjaga,
semuanya berubah 180’. Negri tampa penerangan, sedikit tergugah nuraniku apa
yang mereka fikirkan dengan negara ini.
“ Bapak’ suaraku membuka percakapan. Semua kepala dalam gubuk pemecah batu
ini melihat kearahku. Seakan aku adalah seorang polisi yang akan mengintrogasi
seorang penjahat. Waktu berheti dan mereka melajutkan pekerjaan mereka memecah
batu.
Kepala keluarga itu tersenyum. Aku tau dalam benaknya kenapa saya memanggilnya.
Aku mulai terdiam, hendak dimulai darimana sebuah pertanyaan konyolku. Untuk
membuka sebuah percakapan dengan keluarga asing yang bersebrangan dari rumahku.
“Berapa tahun bekerja seperti ini?”
“27 tahun” suaranya sedikit parau, dan logat khas orang nusatenggara.
Selama itukah seorang ini bekerja dengan sebuah martil dan memukul batu
untuk dijual. Daerah Oekusi, batas terdepan NKRI dengan keadaan sebuah negara
yang merdeka 67 tahun tampa tersentuh dengan fasilitas yang sangat remeh dalam
pandangan kita.
“Kenapa tidak merantau ke Timur-timur?”
Dia hanya menggeleng. Aku semakin penasaran kenapa mereka tidak mencoba
untuk pergi merantu ke Timur-timur. Mereka tersenyum kembali, apa yang membuat
mereka tersenyum. Ini suatu hal yang tak lucu fikirku. Bagai mana mungkin
mereka tatap memilih dengan keadaan seperti ini.
keluarga ini bukan satu-satunya keluarga pemecah batu. Aku melihat
sekeliling, ada 10 kelurga dengan keadaan yang sama, mereka tak perduli dengan
semua ini. mereka hanya melanjutkan pekerjaan mereka.
Ketika bumi mulai tertutup awan, gelap mendung sore mulai menyelimuti sisi
bumi. Mereka mulai beranjak dari tempat duduk mereka. Peluh menetes sekenanya
jatuh dengan ringan dikening dan baju mereka. Beranjak mereka pulang, aku
mengikuti mereka dari belakang. Tak ada rasa kebertatan tertuang dalam sisi
mereka. Jalan tadi pagi kini menggelap, seperti terjungka dalam kegelapan.
Jalan itu tertutup pekat malam.
Jangan berkata lampu. Listrik saja tak ada. Sampai mereka pulang dengan
suatu hal yang sepertinya sudah hapal. Penerangan dengan cahaya bulan, mereka
dapat meletakkan semua peralatan itu dengan posisi dan tempat yang benar. Maria
mengambil obor keci yang berada disampingku. Dalam sekejap, rumah gelap ini
berubah berwarna kuning dari cahaya lampu minyak. Sedikit mengerut hatiku
melihat kejadian ini.
Ini bukan jaman penjajahan dengan lampu penerang sebuah lampu minyak. Aku
sedikit menyerah dengan keadaan seperti ini. bulan bersinar begitu terangnya,
bintang seakan menjadi kawan dalam gelap. Apa ini yang membuat mereka tersenyum
setiap paginya. Apa ini yang membuat mereka tetap bertahan dengan keadaan tak
sewajarnya ini.
Bukan sebuah tuntutan besar untuk sebuah penerangan untuk negara kaya
seperti Indonesia dengan DPR yang dapat jalan-jalan keluar negri dengan gaji
tiap bulan yang dapat memberi makan 2 bulan satu kampung Oekusi. Aku menekuk kakiku, mereka tersenyum
melihatku. Entah, kenapa mereka seperti tak merasakan hal yang begitu
berkecambuk dalam benak saat melihat semua ini.
Mereka mengajakku makan malam, dengan logat yang tak aku mengerti. Namun
aku mengerti itu adalah logat untuk mengajak makan. Aku tersenyum dengan
keadaan ini, mereka tak mengeluh. Sedikit percakapan yang tak lama untuk
menghangatkan suasana.
Matahari sudah membumbung diantara awan-awan pagi, apa yang mereka lakukan
seperti hari kemari dan kemarinnya lagi. Kembali ketambang dan memecah batu
lagi. Hari ini aku pulang kembali ke negri asalku dengan debar dada yang
sedikit terkobar. Aku kembali melanjutkan pekerjaanku untuk negara. Aku puas
dengan jawaban orang hitam itu.
“ Kenapa bapak tindak mencoba untuk merantau ke Timur-timur”
Dia menggeleng lagi “saya lebih senang di Indonesia”
“Kenapa?” aku semakin bertanya
“Saya mencintai Indonesia”
Aku sedikit terenyuh mendengar kata itu. Apa anda mendengar itu bapak
presiden? Apa anda mendengar itu bapak DPR? Apa anda mendengar itu ?
Itu ucapan mendalam dan tulus dari seorang bangsa pada negaranya. Aku tak
dapat berkata lagi, aku terdiam. Mataku sedikit berkaca.
Hari ini saya mengerti apa yang
dinamakan cinta tanah air. Mungkin untuk mereka ini suatu hal yang bodoh,
benar-benar bodoh. Kenapa mereka tidak mencoba merantau? Hanya dengan alasan
mereka mencintai negara ini. mereka yakin negara ini akan lebih baik dari
sekarang. Mereka yakin dengan itu semua. Entah saya sendiri pun tak pernah tau
dari mana keyakinan keluarga kulit hitam ini.
Namun, satu hal yang membuatku malu. “Kenapa saya tidak dapat mencintai
negara ini seperti mereka?”
Saya kebali kekota, untuk membuat skripsi dari kabupaten Oekusi dengan
jumlah penduduknya,data pekerjaan mereka, macam hal yang dapat aku buat untuk
data skipsi statistikku ini. Namun, informasi kecintaan mereka untuk negara ini
cukup lah saya saja yang tau.
Komentar
Posting Komentar