Langsung ke konten utama

Cerpen : Teriakan mujarap kakekku

-->
Nasionalisme. Aku tersenyum mendengar kata itu. Aku masi bertanya tentang apa arti kata itu. Atau kah itu hanya sebuah ungkapan yang akan membuat kita langsung berfikir. Itu sebuah kata yang mencerminkan kecintaan kita terhadap negara.

Ya... itu benar, namun hingga saat ini aku masi belum benar-benar mengeri apa yang dimaksud nasionalisme.
Aku terduduk melihat kakekku yang menggunakan baju veterannya. Aku melihat senyumnya, dan begitu Pdnya menunjukkan giginya yang sudah tak ada dihadapin cermin soak yang muntah melihat kakekku.
Entah itu seragam berwanna apa, kuning atau hijau kah? Entah aku yang memiliki mata tak mines saja bertanya.
Masi aku melihat senyum itu didepan kaca itu. Diriku tak lepas melihat tingkah kakeku yang seakan masi berumur 25th dengan tinju mengepal ditangannya.
Aku hanya menggeleng dan tertawa.
Dia melihatku dan menggendonggku.

***

Itu yang aku ingat dari kakekku. Aku melihat bendera plastik yang sekarang aku pegang. Apa arti sebuah kemerdekaan dan nasionalisme itu kek???
Aku masi ingat saat umurku masi 4 tahun aku selalu dipangku dan dia bercerita tentang perjuangannya saat melawan penjajah. Aku hanya menggut-manggut aku tak mengerti. Namun, kata ibuku aku harus menghormati orang yang berbicara. Aku duduk dan mendengarkan semua dengan seksama. Kakekku bercerita dengan berkobar-kobar. Tangan tuanya yang keriput mengepal, urat-urat nadinya yang sudah tua makin tergambar jelas. Dia meneriakkan “MERDEKA” aku pun melopat dari pangkuannya dan ikut berteriak “MERDEKA”

Ini semua lucu. Benar-benar lucu. Aku yang tak tau penjajah itu seperti apa, masi saja ikut-ikutan berteriak merdeka. Namun aku pun sempat bertanya padanya. Seperti apa penjajah itu. Dia berkata, mereka jahat, berkulit putih, bermata biru dan bermabut pirang. Aku manggut-manggut. Gara-gara omongan kakek itu. Saat aku berangkat sekolah ada kakak kelasku yang beramput pirang, kulitnya putih namun matanya tak biru. Logat bicaranya aneh.
Aku menuduhnya penjajah, dan aku melemparnya dengan kotak makanku.

Ach.... dasar kakek. Kenapa mendokrin anak kecil dengan penjelasan yang sungguh mengacaukan fikirnannya. Atau aku terlampau lugu untuk menuduh orang lain sebagai penjajah.

Aku menggeleng. Ini bukan era berjuang dengan menumpas bule-bule itu. Aku berbalik dan melihat foto kakek itu. Aku masi bertanya. Apa yang dimaksud nasionalisme itu? Apa? . Kita cinta negara seperti apa?.

Aku melihat, merasakan, dan mendengar. Lebih dari setengah abat indonesia merdeka. Kakekku yang berjuang bersama kakek-kakek yang lain untuk kemerdekaan indonesia. Bapak-bapak, ibu-ibu, anak-anak muda dan semuanya. Mereka berjuang. Tapi untuk sekarang kita berjuang seperti apa?.

Kemarin aku melihat pertandingan sepak bola. Indonesia VS negara lain. Namun gelora bung karno lebih dipenuhi dengan pendukung negara lain itu. Bahkan untuk sebuah hal yang kecil saja itu sudah menunjukkan. Kita tidak cinta Indonesia, bahkan untuk mendukungnya pun tidak. Yang ada meremehkan kekuatannya. Aku pun tau, timnas Indonesia tidak akan mampu menang melawan mereka. Karna banyaknya faktor X. Namun, sedikit saja lah... kita mendukung indonsesia walau pun kita tau, kita akan kalah.

Sudah. Kenapa aku berkata tentang sepak bola. Bukan aku berniat menkritik atau apalah kata itu. Aku hanya bingung. Seperti apa nasionalisme itu sebenarnya. Apakah saat kita berpakaian batik, atau saat kita melakukan upacara hari senin.

Kakek. Seandainya aku masi bisa bertanya. Aku pasti akan bertanya padamu.
Aku tak mengeti kemerdekaan yang dulu kamu perjuangkan. Aku masi belum mengerti apa yang engkau maksud dengan nasionalisme.

Mungkin ini hasil dari semua kebohongan pemimpin kita yang sudah melupakan kemerdekaan dan apa itu nasionalisme. Aku tak menyelahkan mereka. Mungkin karna kita sudah telalu muak akan yang dinamakan kemerdekaan, dan sudah terlalu lelah untuk berpura-pura berbohong mencintai negara ini.
Mungkin kita harus dijajah lagi, dan merasa tak punya negara seperti dahulu dijajah 350th oleh belanda.

Kita akan merasa kehilangan saat kita sudah tak miliki. Kita pun tak ingin kembali kezaman dahulu. Memakai goni untuk pakaian. Tau pun mati kelaparan.
Namun, kita juga tak bisa membiarkan indonesia berubah jadi negara ambigu yang melupakan asalnya.

Okeh... kita ngak akan kembali kezaman dulu. Negara dikuasai oleh negara lain. tapi mungkin saja negara ini akan dijual, karna tidak mampu untuk membayar hutang negara dan kita akan dipekerjakan seperti jaman dahulu.

TIDAKKKK.... aku membayangkannya saja tak mau. tapi, sebelum itu terjadi. Sepetinya kita sudah menjual sebagian negara kita. Sadar atau pun tak sadar.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Imtaq dan Iptak

IMTAQ DAN IPTAK Imtaq merupakan singkatan dari iman dan taqwa, sedangkan iptek adalah singkatan dari ilmu pengetahuan dan teknologi. Saya rasa padanan kata ini tidak asing lagi bagi kita. Iman dan taqwa bersumber dari hati sebagai bentuk hubungan positif manusia dengan Tuhannya. ’Imtaq pada diri seseorang menunjuk kepada integritas seseorang kepada Tuhannya Mantan Presiden RI, Bapak B. J. Habibie pernah berkata, “Sumber daya manusia yang mempunyai iman dan taqwa harus serentak menguasai, mendalami, dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek)," Kemudian beliau melanjutkan, "Seseorang tidak cukup beragama atau berbudaya saja, karena hanya akan menjadi orang yang baik. Sebaliknya, tidak cukup pula seseorang mendalami ilmu pengetahuan saja, karena hanya akan menjadikannya sosok yang menghalalkan segala cara dalam mencapai tujuan," katanya. Ingat bahwa kita adalah mahasiswa. Rangkaian kata yang selalu mengiringi kata mahasiswa adalah “the agent of change”. Kita

Berakhir

Saat aku menulis ini mataku sudah tidak sembab lagi, iya benar. Ini tentang kamu lagi, entah ditulisan keberapa aku mengatakan memang sebaiknya kamu tidak kembali.  Sebulan lalu aku mendengar kalau kamu akhirnya menikah dengan gadis itu, gadis yang membuatku sebenarnya merasa kalah. Benar-benar kalah, karena dia yang pada akhirnya memilikimu.  Dengan banyak drama, dan yaahh. . . aku bukan wanita yang tepat untukmu. Kali ini biarkan saja aku sedikit mengingat hal-hal kecil yang selalu membuatku teringat olehmu.  "Hari ini masak apa ?"  aku selalu merindukan kata-kata seperti ini sepeleh memang, tapi ada hal yang membuatku merasa kalau masakanku yang tidak jelas ada yang menanti.  Apa kamu ingat kotak tempat makan ungu yang aku isi bekal waktu itu. Aku ingat saat itu masih pagi, dan kamu berangkat kerja. Aku mengisi kotak makan itu dengan gorengan bandeng yang sudah keras. Entah apa yang aku pikirkan saat itu.  Atau, saat aku jatuh dan kamu mengobatiku sambil berjongkok. Aku me

Cerpen : Hujan

Hari itu seperti biasa, matahari masih terbit dari timur. Aku mengeluarkan sepedah ontel warisan keluargaku. Aku menuntunya  menuju halaman. Dari dalam masih terdengar ribut-ribut ayahku yang masih saja membuat  ibu sakit. Rasanya ingin aku plester saja mulutnya. Bila tak ingat itu ayahku satu-satunya atau mungkin ancaman neraka jahanan karna menjadi anak durhaka. Pagi ini seperti biasa, ibu menyuruhku cepat-capat  berangkat sekolah. Bukan karna aku akan terlambat masuk sekolah. Tak lain dan tak bukan agar tak mendengar omelan ayah padanya. Sungguh aku tak sanggup hidup dengan seorang ayah yang seperti itu. Kadang aku berharap ayahku terbawa oleh kapal bajak laut agar dia tak lagi membuat ibuku menangis. Namun kenapa Tuhan menakdirkan ibuku menikah dengan ayah. Pelet apa yang digunakan ayah sampai-sampai ibu betah dengannya. Kadang aku panjatkan do’a berharap ini semua hanya mimpi. Dan saat aku terbangun aku memiliki keluarga yang bahagia. Dengan seorang ayah yang tak p