Langsung ke konten utama

Cerpen : Ayah


Tuhan apakah aku harus berhenti berharap? Apakah aku harus melupakanya? Tuhan apakah engkau mendengar hapanku? Tapi kenapa engkau sepertinya diam mendengar harapanku? Tuhan aku sungguh lelah dengan semua ini, benar benar lelah.
ðððð   
Malam ini benar-benar mengingatkanku pada saat ayah pergi, saat terakhir ayah tersenyum padaku. 7 tahun yang lalu, saat terakhir ayah meninggalkanku.Angin kencang menembus celah-celah lubang anyaman bambu yang sudah lapuk ini. suara cendela yang tiba-tiba terbuka mengagetkan seluruh isi rumah. Hanya 2 orang kawan tak lebih, hanya aku dan adikku Nila. Bayanganku kembali disaat aku berusia 10 tahun, saat aku menangis berharap ayah tak pergi melaut.
Malam itu angin laut terlihat kencang, suara air yang memecah obak lebih ganas dari biasanya. Aku merangkul lengan ayah, berharap dia tak melaut malam ini. senyum itu yang dia berikan padaku. Dia melepas rangkulan tanganku dilengannya. Sebuah kata yang akan membuatmu terenyuh mendengarnya. Aku takut kawan, benar-benar takut bila ayah tak pulang seperti ibu dulu.
Aku menangis, saat ayah pergi. Adikku terbangun dari tidurnya karna mendengar tangisanku. Dia yang baru berumur 3 tahun hanya terdiam dan mengucek-ucek matanya. Dia mendekat dan merangkulku,segera aku usap air mataku agar tak terlihat olehnya. Aku menyurhnya tidur lagi karna ini sudah larut malam.

Sungguh kawan aku tak dapat tidur malam itu, mataku tak dapat menutup. Aku berdo’a supaya ayah selamat. Entah berapa lama mataku terbuka, yang kuingat tiba-tiba matahari pagi sudah menembus lubang-lubang rumahku yang terbuat dari anyaman bambo ini.
Hari itu aku benar-benar tak tenang, aku tak dapat berkonsentrasi mendapat pelajaran. Aku tak tau seperti apa wajahku saat itu. Mungkin seperti orang depresi atau orang kurang waras, entah lah tapi saat itu aku benar-benar merasa kacau. Pulang sekolah aku berlari kelaut. Angin laut masi ganas memecah ombak, rintik hujan membasahi seragamku. Biasanya siang seperti ini kapal-kapal para nelanyan seperti ayah sudah kembali. Namun bulan ini banyak nelanyan yang tak pergi melaut karna takut gelombang besar.
Ini hari kelima, ayah tak pulan kawan. Dia tak kembali, tak ada kabar. Bukan hanya aku saja yang cemas tapi semua istri kawan ayah yang pergi melaut malam itu. Ayah tak kembali, ayah pergi seperti ibu. Mereka meninggalkan kita, aku dan adhikku. Apa yang harus aku lakukan kawan. Apa ayah tak akan pulang selamanya ? . ach…. Itu tak mungkin ayah tak mungkin meninggalkan kita.
Ayah masi hidup kawan, aku yakin ayah masi hidup. Mungkinkah ayah terdampar dan terbawa gelombang sampai kepulau lain? Mungkin kawan, tak ada yang tak mungkin. Aku ingat kata guru sejaraku saat menceritakan penyebaran bangsa melayu muda ke jawa,mereka mengarungi lautan hanya dengan perahu sederhana. mereka menemukan pulau jawa, bali, Kalimantan, Sumatra dan pulau-pulau yang lain.Mereka datang dari daratan Asia. Daratan yang jauh dari Indonesia.  
Tapi mungkinkah ayah terdampar sampai Kalimantan, atau kah ayah terdampar di pulau kecil dekat pulau jawa ini. Bukankah saat itu bangsa melayu muda bisa sampai jawa mereka berasal dari Kalimantan. entah kawan . ..  aku binggung. Yang pasti sekarang aku berharap ayah pulang dengan selamat.
Ibu sudah meninggalkan kita, ibu pergi tampa alasan. Apa benar kata orang kefakiran dekat dengan kekufuran? . ibu pergi dengan orang lain, mungkin seorang yang lebih kaya dari ayah. Ibu meninggalkan kita, ayah, aku dan adikku. Tuhan apakah engkau menakdirkan kita hidup sendiri seperti ini?.
Tuhan apakah aku harus berhenti berharap? Apakah aku harus melupakanya? Tuhan apakah engkau mendengar hapanku? Tapi kenapa engkau sepertinya diam mendengar harapanku? Tuhan aku sungguh lelah dengan semua ini, benar benar lelah.
Sudah 7 tahun aku berharap ayah pulang. Namun sampai sekarang ayah tak pulang, aku lelah berharap kawan. Tiap sore aku menunggu ayah dilaut, berharap kapal ayah kembali. aku menuruti perintah ayah menjadi siswa yang pintar. Aku punya banyak piagam, nilai rapotku juga selalu bagus. Tapi kenapa ayah tak pulang, ? apa benar ayah telah tiada. Apa benar kata adhikku ayah tak akan pulang. Ayah tak akan kembali.
Aku menutup semua cendela dan pintu rumah rapat-rapat. aku mulai beranjak tindur, menyusul adikku yang sudah tidur sejak tadi. Aku baringkan tubuhku diranjang yang mulai tua ini. bunyi decitan tanda ada seorang yang menidurinya. Aku memandang lurus keawang-awang dan mataku mulai terpejam. Meninggalkan sedikit derita hidup ini, dunia yang cukup keras yang harus aku arungi, hanya dengan adhikku Nila,
Rasanya baru sebentar aku menutup mata, ada seorang yang mengetuk pintu rumah ini. aku bangun pelan-pelan agar adikku yang tertidur disampingku tak terbangun.
Mungki bi. Marni tetanggaku, namun Tak sepeti biasanya bi. Marni kerumahku malam-malam. Aku membuka pintu ada seorang yang berbalik menunjukkan punggungnya, ia mengenakan kemeja biru laut dengan celana hitam. Mobil mewah terparkir dihalaman rumahku, sepertinya dia orang kaya. Namun siapa dia? Setauku keluargaku tak mempunyai kerabat atau teman yang mapan seperti ini. ach… mungkin dia orang yang sedang mencari alamat.
“maaf, cari siapa?” tanyaku heran
Orang itu berbalik. Air mataku meleleh, “Ayah” dia pulang kawan. Ayah memelukku
“Rani, sudah besar kamu ndok? Ayah kangen sama kamu” dia menangis sambil memelukku dengan erat.
            Ayah pulang kawan, ayah masih hidup. Nila salah menyurruhku melupakan ayah. Ini bukan harapan kosong. Aku yakin ayah masi hidup dan benar kawan ayah masi hidup. Terima kasih Tuhan, ayah pulang dengan selamat. Tuhan tak pernah tidur, Tuhan selalu mendengar harapanmu. Jangan perna berhenti berharap padanya kawan. Karna Tuhan akan selalu memeluk harapanmu itu. Harapan yang membuat kita selalu hidup, harapan yang membuat kita akan selalu berusaha. Apa pun harapanmu yakin lah semua itu akan terkabul, jangan perna sekalipun meragukan harapanmu. Entah kata orang itu tak mungkin tapi kata Tuhan tak ada yang tak mungkin.

by : April
  

  
  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Imtaq dan Iptak

IMTAQ DAN IPTAK Imtaq merupakan singkatan dari iman dan taqwa, sedangkan iptek adalah singkatan dari ilmu pengetahuan dan teknologi. Saya rasa padanan kata ini tidak asing lagi bagi kita. Iman dan taqwa bersumber dari hati sebagai bentuk hubungan positif manusia dengan Tuhannya. ’Imtaq pada diri seseorang menunjuk kepada integritas seseorang kepada Tuhannya Mantan Presiden RI, Bapak B. J. Habibie pernah berkata, “Sumber daya manusia yang mempunyai iman dan taqwa harus serentak menguasai, mendalami, dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek)," Kemudian beliau melanjutkan, "Seseorang tidak cukup beragama atau berbudaya saja, karena hanya akan menjadi orang yang baik. Sebaliknya, tidak cukup pula seseorang mendalami ilmu pengetahuan saja, karena hanya akan menjadikannya sosok yang menghalalkan segala cara dalam mencapai tujuan," katanya. Ingat bahwa kita adalah mahasiswa. Rangkaian kata yang selalu mengiringi kata mahasiswa adalah “the agent of change”. Kita

Berakhir

Saat aku menulis ini mataku sudah tidak sembab lagi, iya benar. Ini tentang kamu lagi, entah ditulisan keberapa aku mengatakan memang sebaiknya kamu tidak kembali.  Sebulan lalu aku mendengar kalau kamu akhirnya menikah dengan gadis itu, gadis yang membuatku sebenarnya merasa kalah. Benar-benar kalah, karena dia yang pada akhirnya memilikimu.  Dengan banyak drama, dan yaahh. . . aku bukan wanita yang tepat untukmu. Kali ini biarkan saja aku sedikit mengingat hal-hal kecil yang selalu membuatku teringat olehmu.  "Hari ini masak apa ?"  aku selalu merindukan kata-kata seperti ini sepeleh memang, tapi ada hal yang membuatku merasa kalau masakanku yang tidak jelas ada yang menanti.  Apa kamu ingat kotak tempat makan ungu yang aku isi bekal waktu itu. Aku ingat saat itu masih pagi, dan kamu berangkat kerja. Aku mengisi kotak makan itu dengan gorengan bandeng yang sudah keras. Entah apa yang aku pikirkan saat itu.  Atau, saat aku jatuh dan kamu mengobatiku sambil berjongkok. Aku me

Cerpen : Hujan

Hari itu seperti biasa, matahari masih terbit dari timur. Aku mengeluarkan sepedah ontel warisan keluargaku. Aku menuntunya  menuju halaman. Dari dalam masih terdengar ribut-ribut ayahku yang masih saja membuat  ibu sakit. Rasanya ingin aku plester saja mulutnya. Bila tak ingat itu ayahku satu-satunya atau mungkin ancaman neraka jahanan karna menjadi anak durhaka. Pagi ini seperti biasa, ibu menyuruhku cepat-capat  berangkat sekolah. Bukan karna aku akan terlambat masuk sekolah. Tak lain dan tak bukan agar tak mendengar omelan ayah padanya. Sungguh aku tak sanggup hidup dengan seorang ayah yang seperti itu. Kadang aku berharap ayahku terbawa oleh kapal bajak laut agar dia tak lagi membuat ibuku menangis. Namun kenapa Tuhan menakdirkan ibuku menikah dengan ayah. Pelet apa yang digunakan ayah sampai-sampai ibu betah dengannya. Kadang aku panjatkan do’a berharap ini semua hanya mimpi. Dan saat aku terbangun aku memiliki keluarga yang bahagia. Dengan seorang ayah yang tak p