Pukul
3 sore, aku bergegas memasukkan selendang Tariku kedalam tas. Aku bercermin
semuanya sudah rapi, aku keluar dari kamar. Ibu dan ayahku yang sedang
bersantai diteras aku temui. Aku berpamitan dengan mereka. Aku berjalan agak
tergesa-gesa, niatku pergi ketempat latihan menari dengan sepedah namun aku
urungkan niatku. Ini desa dengan jalan yang sangat mengecewakan apa lagi bila
turun hujan. Orang dapat berendam dalam lubang kubangan lumpur yang terbuat
alami dijalan ini. Aku copot sandal bututku agar cepat sampai tujuan.
Jarak
tempat yang aku tuju cukup jauh mungkin 2 km. itu dapat aku tempuh setengah jam
bila aku berjalan cepat. Namun sekarang untuk berjalan tegak saja sulinya minta
apun. Bagaimana jika aku mengendarai sepedah bisa berjam-jam lamanya. Kakiku sudah
penuh lumpur. Keringat hasil pembakaran glukosa dalam tubuhku mulai tampak. Aku
mengusapnya dengan lenganku.
Aku
berlatih menari sejak kelas 4 SD, aku sudah banyak menguasai banyak tarian
tradisiaonal maupun tarian kreasi. Aku sering diajak oleh guruku untuk mengisi
acara perpisahan sekolah. Entah kadang aku binggung kenapa teman-temanku,
menganggap menari itu mudah padahal aku berlatih menari seperti ini butuh waktu
berbulan-bulan untuk bisa. Kata mereka lebih sulit menari balet seperti yang
dikatakan rahma. Mentang-mentang latihan balet dikota lantas senaknya saja
bilang menari tradisional itu gampang. Kadang aku jengkel dengan mereka.
Tinggal beberapa meter
lagi aku akan sampai di rumah guru Tariku. Aku berhenti didepan Rumah yang
beraksen Joglo dengan halaman yang sangat-sangat luas, di tumbuhi banyak macam
pohon jambu. didepanku adalah rumah tuti teman satu kelasku yang juga ikut berlati
disanggar tari. sudah hampir 4 tahun kita berlati tari bersama, dengan di ajar
oleh seorang yang sangat ramah, bu ratih namanya. Kita murit tertuanya, kadang
kita membatu mengajar adhik-adik kelas yang baru bergabung dengan sanggar tari
kita. Sedang untuk biyaya, kita tidak memungut biyaya sepeserpun untuk sanggar ini.
namun semuanya serba seadanya,muritnya pun tak banyak. Hanya 7 orang ditambah 2
orang aku dengan tuti.
Aku jadi berfikir tak
dipungut biyaya saja tak ada yang berminat bagaimana kalo di pungut biyaya. Bu ratih
berasal dari Bali. Entah bagaimana bu ratih dapat bertemu pak bahar, yang
tinggal dikampung ini. pak bahar juga seorang yang pandai menari. Kadang kita
juga diajar untuk menari tarikreasi, menari dibilang gampang juga tidak
gampang. Dibilang sulit juga tidak sulit. Semua tergantung minat dan kemauan.
Aku sudah berada
dihalaman rumah tuti.aku tak berani memasuki terasnya. Kakiku kotor penuh
dengah lumpur. Aku memanggil namanya dari luar rumah. Memang tak sopan, namun
dari pada ibu tuti kesal gara-gara cap telapak kakiku, lebih baik aku memanggil
tuti dari luar teras seperti ini.Seorang wanita setengah baya keluar dari rumah
model joglo itu.tak salah itu ibunya.
“tuti pergi kerumahnya Rahma, nduk” kata ibu tuti
“iya, bu..! permisi” saya berpamitan
Kenapa tuti pergi
kerumahnya Rahma. Ada apa ini? hal yang aneh. Rahma adalah teman satu sekolahku
sejak SMP. Sifat dan tabiatnya tak dapat dicontoh. Kata-katanya sedikit tak
enak didengar. Apa karna dia anak salah seorang pejabat desa lantas dia berhak
melakukan itu.Seenaknya dia menghina orang diseklilingnya. aku ndak munafik, aku sedikit ndak suka dengan omonganya. Bagaimna tidak didepan
mukaku dia berkata
“menari remo itu kuno, bagusan balet”
Ach…. Orang mana juga yang mau nonton balet, nonton
seorang lompat sana-sini. ndak jelas,
pakek acara jinjit-jinjit segala. Mentang-mentang dia ikut les balet dikota,
apa semua itu lantas membuatnya meremehkan tarian remo.
Aku sampai dirumah
rahma. Aku mencuci kakiku dikeran luar rumah rahma. setelah kakiku bersih aku
berjalan memasuki teras rumahnya. Terasnya cukup luas, bentuk rumahnya cukup
modern dibanding dengan rumah didesa ini.
“assalamualaikum” aku mengucap salam, remang-remang
dari dalam muncul seorang nenek yang sedang menyusur
daun tembakau. Aneh dirumah semodern ini ada orang menyusur
“golei sopo
nduk?” katanya dengan logat jawa yang kental
“Rahma”
“areke dhek
njero” nenek itu meninggalkanku
Aku masuk rumah itu, samar-samar terdengar suara
tape dengan nyanyian yang tak aku mengerti. Tapi itu dapat ditebak bukan lagu
jawa atau pun lagu bahasa Indonesia
“RAHMA” aku berteriak. Beberapa lama tak ada sautan.
Aku berteriaka lagi “RAHMA”. Music itu berhenti
“RAHMA” aku berterika memanggilnya lagi.
Terdengar suara seseorang yang menbuka pitu kamar. Itu
Rahma dan Tuti mereka menghampiriku.
“tumben kamu main kesini?” Tanya rahma,
“ aku mau mengajak tuti nari disanggar” kataku tegas
“daripada kamu nari disanggar, mending kamu ikut
kita belajar nari balet. Lebih keren daripada tarianmu” kata rahma menyindir.
“terserah kamu mau bilang apa, tut ayo kita latihan”
ajakku pada tuti
“aku pengen nari disini, dya! Gini saja kamu lihat
dulu balet itu bagus ato ngak? Kalo kamu ngak suka baru pergi”saran tuti
padaku.
Apa benar balet itu
lebih keren dari tari yang aku pelajari.aku penasaran, sebagus apa tari balet
itu sampai-sampi rahma menghina tarian Remoku. Aku setuju dengan usul tuti. Kita
bandingkan balet dengan tari remo.awalnya kita nonton bareng fidio balet
itu.kita juga menirukan gerakannya. Lama-lama ini bagus juga, aku senang
melihat gerakan yang memutar indah. Kita mulai tertawa dan mulai senang dengan
balet untuk beberapa saat, aku setuju dengan apa yang dikatakan Rahma soal
tarian yang aku pelajari. mungkin benar tarianku kuno. Aku melihat orang dalam
fidio itu semua orangnya bule.
Tak disadar jam sudah
menunjukkan pukul 16:48. Awalnya aku hendak menjemput tuti,tapi sekarang malah
lupa dengan tujuan awalku. Nanti bagaimana kalo aku ditanya bu ratih kenapa aku
telat sampai sanggar, baru pertama kali ini aku telat datang kesanggar.Kasian beliau
sudah menungguku.
“Tut, sudah sore. Kita ngak kerumahnya bu ratih apa?
Pastinya beliau sudah menunggu kita”
“iya benar apa katamu” jawab tuti
“ya.. sudah kalian pergi sana! Diajak modern masih
saja kolot” kata Rahma ketus
Hi… ingin aku jambak rambutnya. Mentang-mentang les
balet, seenaknya sendiri ngina orang kolot. Sebagus apa pun tarian balet, tetap
lebih bagus tarian remoku. Kita pergi tampa berpamitan. Aku dan tuti berjalan
cepat menuju rumah bu ratih. Kita sudah menyiapkan banyak kebohongan agar kita
tak dimarahi.
Sampainya dihalaman sanggar kita dapati banyak orang
berkerumun. Ada apa ini ?
Aku bertanya pada pak sartono, tetangga bu ratih
“Ada apa ini pak?” tanyaku heran
“bu ratih ketabrak motor. “
“Lhoh kok bisa?” aku kaget mendengar itu
“Iya, tadi waktu bu ratih mau keluar nyari kamu, dia
tertabrak motor”
“lho… mencari saya?”
ada apa beliau mencari saya.
Aku memecah kerumunan
orang yang ada. Aku dapati buratih tergeletak bersimbah dara. beliau dipangkuan
pak barun,Dia memegang selendangnya. Aku mendekati bu ratih
Samar-samar bu ratih berkata “ajari adhik-adhikmu
menari” di memberikan selendangnya padaku. Mataku berkaca-kaca, aku menagis.
Buratih memejamkan mata. Semua panic, pak mantri memegang leher bu ratih. Pak
mantri hanya menggelengkan kepala. Nafas terakhir buratih pun berhenti.
“Run.. mobilnya sudah siap !” teriakan pak rudi dari
dalam mobil.
Semua terlambat bu
ratih sudah pulang kerahmat Tullah. Aku hanya dapat menangis. Seandainya aku
tak berlama-lama dirumah Rahma, pasti ini tak akan terjadi. Bu ratih pasti
masih hidup dan mengajari kita menari. Ini semua salahku. Maaf kan saya bu… aku
menghapus air mataku, aku berjanji akan mengajari adhik-adhik menari seperti
pesan ibu pada saya tadi. Saya berjanji bu.
by : April
Komentar
Posting Komentar