Berlari
dan hanya terus berlari. Hanya itu yang aku ingat, seorang wanita berbusana
muslim dan bercadar. Nafas lelahnya dapat terdengar dari dalam cadarnya.
Tangannya dengan erat menggandeng tanganku. Aku hanya dapat melihatnya dari
belakang. Suara hewan malam tak aku hiraukan. Hanya detak jantung dan suara
tapak kakiku dan wanita itu. Suara pecahan daun dan ranting kering yang kita
ijak semakin lama semakin keras.
Keringat
dingin membasai mukaku, badanku basa dengan keringat. Panas tubuhku keluar
disambut dengan dinginnya udara malam. Semakin lama semakin banyak keringat yang menyucur dibalik bajuku. Entah
barapa jauh kita berlari, perasaanku mengatakan ini sudah aman. Aku menoleh kebelakang,
gelap. Hanya gelap, itu yang dapat aku lihat saat itu. Alang-alang dan semak
hanya melambai dan tersiram cahaya bulan.Wanita itu masi menggandeng tanganku
dengan erat. Kakiku sudah tak dapat berlari lagi. Berapa langkah yang dapat
ditempuh seorang anak dibawa usia 4 tahun.
Aku
mencoba melepas gandengannya. Dia menoleh, “Sedikit lagi nak!” katanya. Dia mengangkatku dan menggendongku dipunggungnya. Dia berlari, baru beberapa langkah dia jatuh
tersungkur. Aku menindihinya, aku segera
bangun dan mencoba membangunkanya. Matanya berkaca-kaca dan dia menangis. Aku
dapat mendengar tangisnya dari balik cadarnya itu. Dia memelukku, aku ikut
menangis. Entah kenapa aku ikut menangis. Dia melepas rangkulannya, dia
berdiri. Kita tak lagi berlari, kita mulai berjalan. Dia tak menoleh sedikitpun
ke aku.
Kita
terus berjalan. Malam itu bulan berbentuk bulat penuh. Cahanyanya memberi kita
petunjuk jalan yang kita lalui. Aku masih tak mengerti kenapa kita harus berlari. Sungguh kakiku
terasa tak dapat berjalan lagi. Aku tersandung batu dan aku tarjatuh. Aku tak
mampu berdiri lagi, aku mulai duduk. Wanita itu pun akhinya menyerah dan ikut
duduk pula bersamaku. Aku buka kerudung yang sedari tadi aku kenakan. Aku
gunakan mengibas-ngibas mukaku dan aku membersikan mukaku yang penuh keringat.
Wanita itu memperhatikan tingkahku. Dia tak berkata apa-apa. Hanya tatapan
tajam dari mata yang tersisa dari penutup mulut itu.
Model
bajuku tak beda dengannya. Namun, aku tak menggunakan penutup mulut seperti
wanita itu. “pakai krudungmu kembali” katanya dingin. Sedingin udara malam itu.
Aku mengikuti apa kata wanita itu, tatapan matanya membuatku takut. Dia berdiri
dan menggandeng tanganku lagi. kita berjalan, dan terus berjalan. Tuhan sampai
kapan aku akan terus berjalan.
* Aku duduk dibangku halte bis, berdekatan
dengan wanita bercadar itu. Aku meliriknya lekat-lekat,
dengan sejuta pertanyaan
berkecambuk dibenakku akan pakaiannya. Semua lamunanku pecah saat suara decitan rem bis berhenti didepanku, aku mulai berdiri dan,
Suara azan subuh sudah terdengar. Kita masih saja berjalan. kita sudah lepas dari pekatnya hutan. Samar-samar terdengar
suara kendaraan. Cahaya lampu pinggir hutan sudah terlihat. Kita sudah
menginjak jalan beraspal. Aku sedikit lega, gelap ini berakhir. Aku mulai
bersemangat, aku berjalan mendahului wanita itu. Gandengan tangannya berada
dibelakangku. Aku tersenyum memandang wanita itu. Entah dia bahagia atau tidak
karna aku tak dapat melihat senyumnya, mungkin dia juga bahagia sepertiku,namun
penutup mulut itu menenggelamkan semuanya.
“Kita sholat dulu” katanya
padaku. Aku hanya mengangguk padanya. Matanya tak sedingin tadi malam. Didepan
kita ada sebuah masjid yang cukup besar. Suara azan masi terdengar dari masjid
itu. Aku mencopot sandalku dan mulai masuk masjid. Bergegas aku menuju tempat wudhu, aku berdiri disamping wanita itu. Dia berlahan mebuka cadarnya dan jilbab lebarnya. Aku tak bergeming melihat wajah wanita itu, dia cantik menuruku dengan rambut hitam yang di ikatnya. Tatapan matanya bertemu denganku dan aku memalingkan wajahku kearah keran yang sejak tadi sudah mengucurkan air.
Aku memakai mukenah yang sangat-sangat kebesaran. Kalian tahu aku sungguh tak senang
dengan keadaan ini. Wanita itu mulai sholat disampingku, aku berada tepat disamping kanannya. Tak
beberapa lama sudah banyak wanita yang mengenakan mukenah dan mulai menjejeriku.
Kita sudah berbaris. Dengan tembok untuk memisahkan wanita dengan pria. Aku penasaran dengan ruang sholat bagian laki-laki, aku panjangkan kepalaku dan terlihatlah semua laki-laki berbaris. Aku menoleh melihat wanita itu, dan tanpa ucapan aku sadar dia tak senang dengan apa yang aku lakukan. Tatapan matanya kembali
mendingin seperti tadi malam. Aku menghentikan apa yang aku lakukan.
Khomat telah dikumandangkan tanda sholat segera dimulai. Kita
mulai sholat, sang iman yang aku
lihat tadi seorang yang berjenggot panjang dan putih. Para jamaah mulai berdiri
termasuk aku. Entah surat apa yang dibaca imam itu, seingatku itu membuatku
sangat-sangat ngantuk. Kepalaku aku tolehkan kebelakang, semuanya diam dan
matanya menuju sajadah masing-masing.Aku melihat wanita itu dia memandang
kebawah. Matanya tak lagi dingin. Rasanya aku tak sanggup lagi berdiri. Aku
duduk dan menidurkan kepalaku disajadah. Dan aku tak ingat apa yang terjadi
setelah itu.
Wanita bercadar itu melihatku. Aku tersenyum kecil padanya,
dia membuang muka. Aku kesal dengan kelakuan wanita
itu. Tapi entah kenapa hatiku masih saja tak bisa lekang dari wanita ini. mungkin
gaya berpakaiannya yang aneh dan entah apa yang membuantku tertarik untuk
mengamatinya. Aku hanya menggeliat, dan Dia menyopot mukenahku. Aku hanya dapat menurut
saja. setelah itu Aku melanjutkan tidurku. Dia meletakkan kepalaku dipangkuannya. Aku
melihatnya sekali dan aku tertidur.
Aku mengucek-ngucek mataku. Aku melihat wanita itu tertidu
juga. Aku melihat 2 wanita sedang duduk siserambi masjid. pakaian mereka sama
dengan apa yang dipakai wanita itu. baju yang terlalu besar dan penutup mulut
itu.
“dor” suara tembakan, salah satu dari 2 wanita itu tergeletak.
Darah keluar dari balik baju hitam yang dia gunakan. Dara itu semakin
menggenangi lantai masjid. Aku hanya
terbelalak. aku terbangun dari pangkuan wanita itu, dan tiba-tiba tanganku ditarik kebelakang. Keringat dingin menyucur didahiku
, wanita bercadar itu menyuruhku bersembunyi dalam lemari mukenah.
Aku mendengar suara tembakan dan berlanjut dengan teriakan.“kamu
sembunyi disini. Jangan berisik” katanya sambil gemetaran dan takut. Aku hanya mengangguk. Aku
merangkul erat mukenah disampingku. Dia menutup pintu kayu lemari itu. Entah dia
bersembunyi dimana. Aku sungguh benar-benar takut saat itu.
Dapatku lihat cahaya dari cela-cela lemari ini. suara pintu dibuka
dengan kasar. Aku semakin ketakutan. Keringat dingin semakin deras tercucur
dari dahiku. Aku gemetar, aku takut mereka membuka lemari dan menemukan aku.
“ada orang?” Tanya seorang laki-laki, didepan lemariku. Aku menggil ketakutan. Aku dapat melihat siluet mereka didepan lemariku.
“Kosong” kata seorang laki-laki yang lain. Mereka pergi,aku
mendengar suara kaki mereka menjauhiku. Tak beberapa lama Suara derap kaki
mendekat lemari tempatku bersembunyi. Semakin lama semakin dekat. Aku semakin
ketakutan,kututup mukaku dengan mukenah yang ada disampingku. Pintu lemari
dibuka “ nak, ayo pergi” aku hapal suara itu.aku membuka mukenah yang tadi
menutup wajahku. Aku langsung memeluk wanita itu.
kita bergegas keluar dari masjid itu. kita berlari lagi, aku
menoleh ke belakang. Warga mulai berkerumun memenuhi masjid. masi dapatku lihat
ke dua wanita itu dibopong oleh warga keluar dari masjid. darah masi menetes dari
badang mereka. Aku tak berani menoleh lagi. aku ikuti wanita ini berlari.
Siapa mereka ? kenapa wanita itu ditembak? Kenapa aku harus
berlari lagi ? sebenarnya apa yang terjadi?
Semua pertanyaan berkecambuk dibenakku.
Mobil hitam berhenti tepat didepan kami.Seorang lelaki yang
menyetir mobil itu turun dan diikuti seorang wanita setengah baya. Wanita setengah
baya itu yang sekarang aku panggil nenek. Dia memakai kerudung yang sama
seperti apa yang aku pakai tampa mengunakan penutup mulut . aku dipeluk wanita
itu, dan dia mengajakku untuk naik mobil. Aku melepas gandengannya, dan mengikuti nenek, sedang wanita itu menjauh dan berbicara dengan laki-laki itu. Entah laki-laki itu berkata apa pada
wanita bercadar itu. yang aku tau wanita itu tak pergi bersamaku naik mobil.
Mesin dinyalakan, dan masi dapatku lihat wanita itu
memandangku lewat cendela. Aku
melambaikan tangan dia pun melambaikan tangannya. Aku melihatnya berbalik dan
berjalan kearah berlawanan dengan mobil ini. itu rasannya terakhir kali aku
melihatnya.
*Bis yang sejak tadi kita tungggu sudah berhenti didepan
halte. Wanita bercadar itu mulai mengangkat barang bawaanya. Tiba-tiba dua
orang yang berada di sampingku menodongkan senjata kearah wanita itu “Letakkan
senjata, kami angota kepolisian” kata salah satu dari mereka. Tak beberapa
lama, banyak bapak-bapak yang memakai jaket menodongkan senjata kearah wanita
itu juga.
aku disuruhnya minggir oleh polisi-polisi itu. aku mulai
menjauh,kenapa wanita itu di tangkap?. Apa salahnya? Aku semakin tak mengerti
akan yang dilakukan polisi-polisi itu. salah satu dari polis-polisi itu dengan
cepat membekuk tangan wanita itu. dan memborgolnya, wanita itu tak melawan
apa-apa. Kresek hitam yang tadi dia bawa dibuka polisi dengan hati-hati. Itu
bukan berisi barang belanjaan tapi bahan baku untuk untuk membuat bom.
Satu hal lagi yang membuatku terkejut. Saat cadar itu dibuka, wajah itu aku kenal. Dia wanita itu, wanita yang mengajakku berlari menembus
pekatnya hutan. Aku masi berhutang nyawa padanya. Kenapa dia ? kenapa dia lagi
Tuhan ? kenapa engkau pertemukan hamba dengannya lagi ?dengan wanita ini dalam lingkaran waktu yang sama. Aku tak mau ikut
berlari lagi seperti 13 tahun yang lalu. Aku sungguh tak mau lagi Tuhan. Cukup
hanya saat itu saja.
Komentar
Posting Komentar