Langsung ke konten utama

Cerpen : Lari


                Berlari dan hanya terus berlari. Hanya itu yang aku ingat, seorang wanita berbusana muslim dan bercadar. Nafas lelahnya dapat terdengar dari dalam cadarnya. Tangannya dengan erat menggandeng tanganku. Aku hanya dapat melihatnya dari belakang. Suara hewan malam tak aku hiraukan. Hanya detak jantung dan suara tapak kakiku dan wanita itu. Suara pecahan daun dan ranting kering yang kita ijak semakin lama semakin keras.
                Keringat dingin membasai mukaku, badanku basa dengan keringat. Panas tubuhku keluar disambut dengan dinginnya udara malam. Semakin lama semakin banyak keringat yang menyucur dibalik bajuku. Entah barapa jauh kita berlari, perasaanku mengatakan ini sudah aman. Aku menoleh kebelakang, gelap. Hanya gelap, itu yang dapat aku lihat saat itu. Alang-alang dan semak hanya melambai dan tersiram cahaya bulan.Wanita itu masi menggandeng tanganku dengan erat. Kakiku sudah tak dapat berlari lagi. Berapa langkah yang dapat ditempuh seorang anak dibawa usia 4 tahun.
                Aku mencoba melepas gandengannya. Dia menoleh, “Sedikit lagi nak!” katanya. Dia mengangkatku dan menggendongku dipunggungnya. Dia berlari, baru beberapa langkah dia jatuh tersungkur. Aku menindihinya,  aku segera bangun dan mencoba membangunkanya. Matanya berkaca-kaca dan dia menangis. Aku dapat mendengar tangisnya dari balik cadarnya itu. Dia memelukku, aku ikut menangis. Entah kenapa aku ikut menangis. Dia melepas rangkulannya, dia berdiri. Kita tak lagi berlari, kita mulai berjalan. Dia tak menoleh sedikitpun ke aku.
                Kita terus berjalan. Malam itu bulan berbentuk bulat penuh. Cahanyanya memberi kita petunjuk jalan yang kita lalui. Aku masih tak mengerti kenapa kita harus berlari. Sungguh kakiku terasa tak dapat berjalan lagi. Aku tersandung batu dan aku tarjatuh. Aku tak mampu berdiri lagi, aku mulai duduk. Wanita itu pun akhinya menyerah dan ikut duduk pula bersamaku. Aku buka kerudung yang sedari tadi aku kenakan. Aku gunakan mengibas-ngibas mukaku dan aku membersikan mukaku yang penuh keringat. Wanita itu memperhatikan tingkahku. Dia tak berkata apa-apa. Hanya tatapan tajam dari mata yang tersisa dari penutup mulut itu.
                Model bajuku tak beda dengannya. Namun, aku tak menggunakan penutup mulut seperti wanita itu. “pakai krudungmu kembali” katanya dingin. Sedingin udara malam itu. Aku mengikuti apa kata wanita itu, tatapan matanya membuatku takut. Dia berdiri dan menggandeng tanganku lagi. kita berjalan, dan terus berjalan. Tuhan sampai kapan aku akan terus berjalan.

* Aku duduk dibangku halte bis, berdekatan dengan wanita bercadar itu. Aku meliriknya lekat-lekat, 
dengan sejuta pertanyaan berkecambuk dibenakku akan pakaiannya. Semua lamunanku pecah saat suara decitan rem bis berhenti didepanku, aku mulai berdiri dan,

Suara azan subuh sudah terdengar. Kita masih saja berjalan. kita sudah lepas dari pekatnya hutan. Samar-samar terdengar suara kendaraan. Cahaya lampu pinggir hutan sudah terlihat. Kita sudah menginjak jalan beraspal. Aku sedikit lega, gelap ini berakhir. Aku mulai bersemangat, aku berjalan mendahului wanita itu. Gandengan tangannya berada dibelakangku. Aku tersenyum memandang wanita itu. Entah dia bahagia atau tidak karna aku tak dapat melihat senyumnya, mungkin dia juga bahagia sepertiku,namun penutup mulut itu menenggelamkan semuanya.  
“Kita sholat dulu” katanya padaku. Aku hanya mengangguk padanya. Matanya tak sedingin tadi malam. Didepan kita ada sebuah masjid yang cukup besar. Suara azan masi terdengar dari masjid itu. Aku mencopot sandalku dan mulai masuk masjid. Bergegas aku menuju tempat wudhu, aku berdiri disamping wanita itu. Dia berlahan mebuka cadarnya dan jilbab lebarnya. Aku tak bergeming melihat wajah wanita itu, dia cantik menuruku dengan rambut hitam yang di ikatnya. Tatapan matanya bertemu denganku dan aku memalingkan wajahku kearah keran yang sejak tadi sudah mengucurkan air.
 Aku memakai mukenah yang sangat-sangat kebesaran. Kalian tahu aku sungguh tak senang dengan keadaan ini. Wanita itu mulai sholat disampingku, aku berada tepat disamping kanannya. Tak beberapa lama sudah banyak wanita yang mengenakan mukenah dan mulai menjejeriku. Kita sudah berbaris. Dengan tembok untuk memisahkan wanita dengan pria. Aku penasaran dengan ruang sholat bagian laki-laki, aku panjangkan kepalaku dan terlihatlah semua laki-laki berbaris. Aku menoleh melihat wanita itu, dan tanpa ucapan aku sadar dia tak senang dengan apa yang aku lakukan. Tatapan matanya kembali mendingin seperti tadi malam. Aku menghentikan apa yang aku lakukan.
Khomat telah dikumandangkan tanda sholat segera dimulai. Kita mulai sholat, sang iman  yang aku lihat tadi seorang yang berjenggot panjang dan putih. Para jamaah mulai berdiri termasuk aku. Entah surat apa yang dibaca imam itu, seingatku itu membuatku sangat-sangat ngantuk. Kepalaku aku tolehkan kebelakang, semuanya diam dan matanya menuju sajadah masing-masing.Aku melihat wanita itu dia memandang kebawah. Matanya tak lagi dingin. Rasanya aku tak sanggup lagi berdiri. Aku duduk dan menidurkan kepalaku disajadah. Dan aku tak ingat apa yang terjadi setelah itu.
Wanita bercadar itu melihatku. Aku tersenyum kecil padanya, dia membuang muka. Aku kesal dengan kelakuan wanita itu. Tapi entah kenapa hatiku masih saja tak bisa lekang dari wanita ini. mungkin gaya berpakaiannya yang aneh dan entah apa yang membuantku tertarik untuk mengamatinya. Aku hanya menggeliat, dan Dia menyopot mukenahku. Aku hanya dapat menurut saja. setelah itu Aku melanjutkan tidurku. Dia meletakkan kepalaku dipangkuannya. Aku melihatnya sekali dan aku tertidur.
Aku mengucek-ngucek mataku. Aku melihat wanita itu tertidu juga. Aku melihat 2 wanita sedang duduk siserambi masjid. pakaian mereka sama dengan apa yang dipakai wanita itu. baju yang terlalu besar dan penutup mulut itu.
“dor” suara tembakan, salah satu dari 2 wanita itu tergeletak. Darah keluar dari balik baju hitam yang dia gunakan. Dara itu semakin menggenangi lantai masjid.  Aku hanya terbelalak. aku terbangun dari pangkuan wanita itu, dan tiba-tiba tanganku ditarik kebelakang. Keringat dingin menyucur didahiku , wanita bercadar itu menyuruhku bersembunyi dalam lemari mukenah.
Aku mendengar suara tembakan dan berlanjut dengan teriakan.“kamu sembunyi disini. Jangan berisik” katanya sambil gemetaran dan takut. Aku hanya mengangguk. Aku merangkul erat mukenah disampingku. Dia menutup pintu kayu lemari itu. Entah dia bersembunyi dimana. Aku sungguh benar-benar takut saat itu.
Dapatku lihat cahaya dari cela-cela lemari ini. suara pintu dibuka dengan kasar. Aku semakin ketakutan. Keringat dingin semakin deras tercucur dari dahiku. Aku gemetar, aku takut mereka membuka lemari dan menemukan aku.
“ada orang?” Tanya seorang laki-laki, didepan lemariku. Aku menggil ketakutan. Aku dapat melihat siluet mereka didepan lemariku. 
“Kosong” kata seorang laki-laki yang lain. Mereka pergi,aku mendengar suara kaki mereka menjauhiku. Tak beberapa lama Suara derap kaki mendekat lemari tempatku bersembunyi. Semakin lama semakin dekat. Aku semakin ketakutan,kututup mukaku dengan mukenah yang ada disampingku. Pintu lemari dibuka “ nak, ayo pergi” aku hapal suara itu.aku membuka mukenah yang tadi menutup wajahku. Aku langsung memeluk wanita itu.
kita bergegas keluar dari masjid itu. kita berlari lagi, aku menoleh ke belakang. Warga mulai berkerumun memenuhi masjid. masi dapatku lihat ke dua wanita itu dibopong oleh warga keluar dari masjid. darah masi menetes dari badang mereka. Aku tak berani menoleh lagi. aku ikuti wanita ini berlari.
Siapa mereka ? kenapa wanita itu ditembak? Kenapa aku harus berlari lagi ? sebenarnya apa yang terjadi?  Semua pertanyaan berkecambuk dibenakku.
Mobil hitam berhenti tepat didepan kami.Seorang lelaki yang menyetir mobil itu turun dan diikuti seorang wanita setengah baya. Wanita setengah baya itu yang sekarang aku panggil nenek. Dia memakai kerudung yang sama seperti apa yang aku pakai tampa mengunakan penutup mulut . aku dipeluk wanita itu, dan dia mengajakku untuk naik mobil. Aku melepas gandengannya, dan mengikuti nenek, sedang wanita itu menjauh dan berbicara dengan laki-laki itu. Entah laki-laki itu berkata apa pada wanita bercadar itu. yang aku tau wanita itu tak pergi bersamaku naik mobil.
Mesin dinyalakan, dan masi dapatku lihat wanita itu memandangku lewat cendela.  Aku melambaikan tangan dia pun melambaikan tangannya. Aku melihatnya berbalik dan berjalan kearah berlawanan dengan mobil ini. itu rasannya terakhir kali aku melihatnya.

*Bis yang sejak tadi kita tungggu sudah berhenti didepan halte. Wanita bercadar itu mulai mengangkat barang bawaanya. Tiba-tiba dua orang yang berada di sampingku menodongkan senjata kearah wanita itu “Letakkan senjata, kami angota kepolisian” kata salah satu dari mereka. Tak beberapa lama, banyak bapak-bapak yang memakai jaket menodongkan senjata kearah wanita itu juga.
aku disuruhnya minggir oleh polisi-polisi itu. aku mulai menjauh,kenapa wanita itu di tangkap?. Apa salahnya? Aku semakin tak mengerti akan yang dilakukan polisi-polisi itu. salah satu dari polis-polisi itu dengan cepat membekuk tangan wanita itu. dan memborgolnya, wanita itu tak melawan apa-apa. Kresek hitam yang tadi dia bawa dibuka polisi dengan hati-hati. Itu bukan berisi barang belanjaan tapi bahan baku untuk untuk membuat bom.
Satu hal lagi yang membuatku terkejut. Saat cadar itu dibuka, wajah itu aku kenal. Dia wanita itu, wanita yang mengajakku berlari menembus pekatnya hutan. Aku masi berhutang nyawa padanya. Kenapa dia ? kenapa dia lagi Tuhan ? kenapa engkau pertemukan hamba dengannya lagi ?dengan wanita ini dalam lingkaran waktu yang sama. Aku tak mau ikut berlari lagi seperti 13 tahun yang lalu. Aku sungguh tak mau lagi Tuhan. Cukup hanya saat itu saja.

      

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Imtaq dan Iptak

IMTAQ DAN IPTAK Imtaq merupakan singkatan dari iman dan taqwa, sedangkan iptek adalah singkatan dari ilmu pengetahuan dan teknologi. Saya rasa padanan kata ini tidak asing lagi bagi kita. Iman dan taqwa bersumber dari hati sebagai bentuk hubungan positif manusia dengan Tuhannya. ’Imtaq pada diri seseorang menunjuk kepada integritas seseorang kepada Tuhannya Mantan Presiden RI, Bapak B. J. Habibie pernah berkata, “Sumber daya manusia yang mempunyai iman dan taqwa harus serentak menguasai, mendalami, dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek)," Kemudian beliau melanjutkan, "Seseorang tidak cukup beragama atau berbudaya saja, karena hanya akan menjadi orang yang baik. Sebaliknya, tidak cukup pula seseorang mendalami ilmu pengetahuan saja, karena hanya akan menjadikannya sosok yang menghalalkan segala cara dalam mencapai tujuan," katanya. Ingat bahwa kita adalah mahasiswa. Rangkaian kata yang selalu mengiringi kata mahasiswa adalah “the agent of change”. Kita

Berakhir

Saat aku menulis ini mataku sudah tidak sembab lagi, iya benar. Ini tentang kamu lagi, entah ditulisan keberapa aku mengatakan memang sebaiknya kamu tidak kembali.  Sebulan lalu aku mendengar kalau kamu akhirnya menikah dengan gadis itu, gadis yang membuatku sebenarnya merasa kalah. Benar-benar kalah, karena dia yang pada akhirnya memilikimu.  Dengan banyak drama, dan yaahh. . . aku bukan wanita yang tepat untukmu. Kali ini biarkan saja aku sedikit mengingat hal-hal kecil yang selalu membuatku teringat olehmu.  "Hari ini masak apa ?"  aku selalu merindukan kata-kata seperti ini sepeleh memang, tapi ada hal yang membuatku merasa kalau masakanku yang tidak jelas ada yang menanti.  Apa kamu ingat kotak tempat makan ungu yang aku isi bekal waktu itu. Aku ingat saat itu masih pagi, dan kamu berangkat kerja. Aku mengisi kotak makan itu dengan gorengan bandeng yang sudah keras. Entah apa yang aku pikirkan saat itu.  Atau, saat aku jatuh dan kamu mengobatiku sambil berjongkok. Aku me

Cerpen : Hujan

Hari itu seperti biasa, matahari masih terbit dari timur. Aku mengeluarkan sepedah ontel warisan keluargaku. Aku menuntunya  menuju halaman. Dari dalam masih terdengar ribut-ribut ayahku yang masih saja membuat  ibu sakit. Rasanya ingin aku plester saja mulutnya. Bila tak ingat itu ayahku satu-satunya atau mungkin ancaman neraka jahanan karna menjadi anak durhaka. Pagi ini seperti biasa, ibu menyuruhku cepat-capat  berangkat sekolah. Bukan karna aku akan terlambat masuk sekolah. Tak lain dan tak bukan agar tak mendengar omelan ayah padanya. Sungguh aku tak sanggup hidup dengan seorang ayah yang seperti itu. Kadang aku berharap ayahku terbawa oleh kapal bajak laut agar dia tak lagi membuat ibuku menangis. Namun kenapa Tuhan menakdirkan ibuku menikah dengan ayah. Pelet apa yang digunakan ayah sampai-sampai ibu betah dengannya. Kadang aku panjatkan do’a berharap ini semua hanya mimpi. Dan saat aku terbangun aku memiliki keluarga yang bahagia. Dengan seorang ayah yang tak p